Selasa, 11 September 2012

SEJARAH SMP MUHAMMADIYAH 7 KOTAGEDE JOGJA

SEJARAH SMP MUHAMMADIYAH 7 KOTAGEDE YOGYAKARTA

KELAHIRAN DAN MASA AWAL 

A. Berdiri Sampai Berakhirnya SMP Muhammadiyah di Bodon dan Tegalgendu 

Kepedulian Muhammadiyah Kotagede terhadap pendidikan diwujudkan dengan keberhasilannya mendirikan sekolah-sekolah tingkat dasar. Sekolah yang sudah didirikan sejak awal berdirinya Muhammadiyah yang berarti sejak jaman Belanda, dapat disebutkan yaitu : Kweekschool Muhammadiyah di Prenggan, Sekolah Rakyat VI (SR VI) Muhammadiyah di Kleco dan SR VI Muhammadiyah di Bodon. 

Kweekschool Muhammadiyah di Prenggan dalam pertumbuhannya menjadi SR VI Muhammadiyah. Pada saat Belanda mengadakan agresi militer II tanggal 21 Juli 1948, sekolah tersebut diratakan dengan tanah sehingga yang ada tinggal SR VI Muhammadiyah Bodon. 

Selaras dengan perkembangan dunia pendidikan di Indonesia, maka nama atau sebutan Sekolah Rakyat VI (SR VI) berubah menjadi Sekolah Dasar (SD). Dengan demikian sekolah Muhammadiyah yang ada di Kotagede adalah SD Muhammadiyah Kleco dan SD Muhammadiyah Bodon. Dalam perkembangannya Muhammadiyah Kotagede juga berhasil mendirikan Sekolah Dasar di Purbayan. 

SMP Muhammadiyah Kotagede (di Bodon) 

Keberhasilan Muhammadiyah Kotagede mengelola pendidikan di tingkat dasar (SD) ditindaklanjuti dengan mendirikan sekolah setingkat sekolah menengah pertama. Dengan penunjukan dari Muhammadiyah Kotagede bagian Pengajaran, pak Juwahir beserta para guru yang pada waktu itu bersedia bekerja bersama secara ikhlas, membuka pendaftaran bagi siswa baru SMP Muhammadiyah. 

Alasan pendirian adalah karena pada waktu itu lulusan SD Muhammadiyah Bodon dan SD Muhammadiyah sekitar Kotagede lainnya, rata-rata melanjutkan ke SMP Muhammadiyah 1 Purwodiningratan atau ke Mualimin/Mualimat yang letaknya jauh dari Kotagede. Maka SMP Muhammadiyah Kotagede waktu itu dianggap sudah tepat waktunya untuk didirikan. 

Bu Wasilah selaku alumni SMP Muhammadiyah Kotagede menuturkan bahwa sekolah tersebut bertempat di Bodon atau Jurang. Letaknya yang pas bila dilihat dari peta saat ini, berada di belakang atau selatan sekolah Mahad Islamy ngglondoran, selatan HS Silver. Disitu yang ada sekarang tinggal pondasi saja. Sekolah masuk siang karena pada pagi harinya digunakan oleh SD Muhammadiyah Bodon. 

Sebagai siswa angkatan pertama, bu Wasilah belajar bersama teman sekelas sejumlah 15 siswa putra dan putri. Keberadaan SMP Muhammadiyah ini tidak berlangsung lama namun sempat meluluskan satu angkatan yaitu angkatannya bu Wasilah tersebut. Ujiannya masih menggabung di Taman Siswa dan sempat pula memperoleh ijasah. 

Tahun pendirian sekolah ini kurang jelas. Penulisan tahun berdasar ingatan pak Mulyono, suami bu Wasilah bahwa di saat Belanda mengadakan Clash, bu Wasilah masih di Mualimat (setahun tidak selesai), kemudian pindah ke SMP Muhammadiyah di Bodon tersebut mulai dari kelas satu lagi. Penyebutan tahun yang paling mungkin adalah tahun l950 sebab sebelum tahun itu kondisi keamanan belum menentu. 

Dengan pernyataan bu Wasilah yang sempat ikut ujian akhir di Taman Siswa, berarti minimal telah bersekolah selama tiga tahun. Bila setelah itu sekolah tutup maka berarti SMP Muhammadiyah di Bodon ini bertahan selama tiga tahun dari tahun l950 sampai tahun 1953. Setelah itu sekolah bubar begitu saja. 

Pak Wilarjo adalah alumni SGB Negeri yang berlokasi di komplek kediaman Pak Harto Suwun Celenan. Beliau kurang setuju bila SMP Muhammadiyah di Bodon tadi disebut tutup atau bubar. Beliau menyaksikan ditempat tersebut papan nama masih ada, siswa masih ada dan guru-gurunya juga masih ada. Hanya sering kosong atau tidak ada pelajaran sehingga waktu jam belajarnya sering digunakan untuk bandem-bandeman dengan murid MTs Mahad Islamy yang terletak di utaranya. SMP Muhammadiyah Kotagede (di Tegalgendu) 

Ditutupnya SMP milik Muhammadiyah Kotagede tersebut menimbulkan tanda tanya bagi masyarakat Kotagede pada umumnya terhadap kemampuan Muhammadiyah Kotagede mengelola pendidikan setingkat SMP. Bagi pengurus Muhammadiyah Kotagede khususnya bagian Pengajaran, ditutupnya SMP Muhammadiyah tersebut merupakan tantangan berat dan menunggu saat yang tepat untuk kembali bangkit mendirikan SMP Muhammadiyah lagi. 

Saat tepat yang ditunggu akhirnya tepat juga saatnya. Waktu itu putra tertua pak Pawiro Suwarno (Pawiro Tembong) yang tinggal di Solo, mewakafkan tanah beserta bangunannya pada Muhammadiyah Kotagede. Tempat tersebut sekarang menjadi masjid Baitul Qohhar Tegalgendu. 

Ketika rumah yang diwakafkan oleh keluarga pak Pawiro Suwarno tersebut direncanakan akan digunakan untuk sekolah maka beliau membantu sepenuhnya. Maka rumah wakaf pak Pawiro Suwarno direhab. Bagian tengah tetap joglo, sedangkan bagian Barat dan Timur diubah menjadi ruang kelas. Selanjutnya bantuan mebeler berupa 120 set meja kursi siswa lengkap. Setelah lengkap barang-barang yang diperlukan bagi terselenggaranya suatu sekolah, maka mulailah dibuka pendaftaran bagi siswa baru. 

Bagian Pengajaran Muhammadiyah Kotagede, pak Marjuni menunjuk pak Djuwahir untuk kembali menjadi kepala sekolah. Menilik dari penunjukan terhadap orang yang sama untuk menjadi kepala sekolah yaitu pak Juwahir nampaknya ada benang merah tak terlihat yang menghubungkan antara SMP Muhammadiyah Kotagede yang berlokasi di Bodon dengan SMP Muhammadiyah Kotagede yang berlokasi di Tegalgendu. 

Urusan administrasi yaitu sebagai TU dipercayakan kepada pak Darwan. Saat itu pak Darwan sudah menjadi petugas sekretariat di bagian pengajaran Muhammadiyah Kotagede. Penunjukannya menjadi TU di SMP Muhammadiyah Kotagede tidak menganggu tugas-tugasnya. Tugas administrasinya di kantor Muhammadiyah Kotagede Bagian Pengajaran maupun sebagai TU di SMP Muhammadiyah dapat dikerjakan secara bersamaan. 

Guru yang menjadi tenaga pengajar sukarela waktu itu diantaranya adalah guru-guru SD Muhammadiyah Bodon dan SD Muhammadiyah Kleco. Sebagian lainnya masih berstatus mahasiswa. Diantara nama-nama guru tersebut diantaranya adalah : 
- Pak Rahmat Suwarno, guru agama SD Muhammadiyah Bodon 
- Pak Riyanto, menantunya Mbah Muhdi 
- Pak Suharno, pernah mengajar Ekonomi di SMA Muhammadiyah 5 Yogyakarta 
- Pak Wacono 
- Pak Danuri, Timur pasar, guru Ilmu Alam 
- Pak Sukarjan, guru bahasa Inggris 
- Pak Bashor, guru bahasa Inggris, Tata Negara dll 
- Pak Mulyono, Mutihan 
- Pak Hadi Warjono, Jagalan, guru Sejarah. 
- Pak Hartoyo, guru SD Kleco, guru Bahasa Inggris 

Pendaftaran bagi siswa baru pertama dibuka pada tahun ajaran 1955/1956. Siswa yang mendaftar cukup banyak karena pada waktu itu SMP Muhammadiyah Kotagede bekerjasama dengan SD Muhammadiyah yang ada di Kotagede. Dari hasil kerja sama tersebut Kepala SD Muhammadiyah se-Kotagede bersedia menghimbau agar siswa-siswa SD Muhammadiyah se-Kotagede melanjutkan sekolah ke SMP Muhammadiyah Kotagede. Saat itu Muhammadiyah Kotagede mengkoordinasi wilayah sampai di Blawong, Pajangan, Pleret, Segoroyoso bahkan sampai di Dlingo. Sehingga siswa-siswa SMP Muhammadiyah Kotagede banyak yang berasal dari daerah tersebut. 

Pada masa awal tersebut SMP Muhammadiyah Kotagede berkembang dengan baik. Pada saat yang sama didirikan pula SGB Muhammadiyah. Jabatan Kepala Sekolah dirangkap oleh pak Juwahir, begitu pula guru-guru SMP Muhammadiyah juga merangkap mengajar di SGB Muhammadiyah. 

Kegiatan pak Juwahir waktu itu dapat didiskripsikan sebagai berikut : Pagi menjelang jam 07.00 Juwahir muda jalan kaki atau terkadang ngepit dengan pit Onta tanpa rem dari Citran ke Barat sungai Gajah Uwong untuk ngopeni SMP dan SGB Muhammadiyah di Tegalgendu. Kring krung, katanya setiba dihalaman sekolah. Tempat tersebut sekarang sudah jadi masjid Baitul Qohhar. Sekitar jam 10.00 kembali ngepit atau terkadang jalan kaki ngetan ke SD Bodon sampai sekolah usai siang harinya. Kira-kira begitulah kegiatan harian seorang guru yang ngguroni, artinya guru yang bahagia bila anak didiknya jadi orang. Barangkali pembaca ada yang tanya jumlah honornya? Nampaknya tak ada pertanyaan, terima kasih. 

Tentang keberadaan SGB Muhammadiyah di Tegalgendu, Bu Siti Warsinah (Bu Legiman), teman sekelas pak Arsjad mengatakan bahwa letak SGB di Tegalgendu, seberang Utara jalan. Pak Darwan mengatakan dengan lebih yakin bahwa SGB Muhammadiyah tempatnya bersebelahan dengan SMP Muhammadiyah. “SMP di sebelah kanan atau sebelah Barat, SGB di sebelah kiri atau sebelah Timur. Kantornya ditengah dan saya ngantor disitu” katanya, sedangkan Kepala Sekolah SGB juga dirangkap oleh Pak Juwahir. Pak Hadjoewad mengatakan bahwa di Celenan terdapat SGB Negeri milik pemerintah. SGB tersebut pindahan dari Imogiri. Sedangkan di Tegalgendu terdapat SGB milik Muhammadiyah. Pak Hadjoewad ingat bahwa waktu itu plang papan sekolahnya berbunyi : SMP – SGB Muhammadiyah Kotagede. 

Masa akhir sampai bubarnya 

Perkembangan jumlah siswa sampai tahun ketiga menunjukkan peningkatan, bahkan siswa yang semula per tingkat hanya satu kelas, pada tahun ketiga memperoleh siswa dengan jumlah paralel 2 kelas. 

Masalah yang justru mengemuka dari awal adalah sebagian besar guru masih mahasiswa dan guru SD. Sedangkan persyaratan dari pemerintah waktu itu untuk Guru SMP minimal harus berijasah BI, kira-kira setingkat SMA plus 1 tahun. Untuk Kepala Sekolah minimal berijasah D3. Persyaratan tersebut sulit dipenuhi, akibatnya SMP Muhammadiyah Kotagede sulit mendapatkan bantuan dari pemerintah. SGB yang didirikan untuk menjadi solusi masalah tersebut justru sudah bubar pada tahun ketiga sebelum mampu mencetak tenaga guru yang diharapkan. 

Ketika tahun ajaran ketiga berakhir dan siswa mengikuti ujian negara, ternyata hasilnya kurang menggembirakan. Rata-rata siswa gagal dalam ujian negara. Begitupun pada tahun berikutnya. Hanya satu siswa yang lulus ujian negara. Itupun karena siswa tersebut pindahan dari sekolah lain dengan hanya 1 tahun di kelas 3, ikut ujian negara dan lulus dengan nilai terbaik. 

Kekurang-berhasilan yang beruntun menyebabkan sekolah mengubah kebijakan. Berdasarkan dugaan minimnya kemampuan siswa yang masuk ke SMP Muhammadiyah Kotagede, maka diterapkan aturan batas minimal nilai rapor bagi siswa SD yang mendaftar ke SMP Muhammadiyah Kotagede. Kebijakan yang semula diharapkan akan meningkatkan kualitas lulusan, ternyata justru membawa ke pintu kehancuran. 

Kepala-kepala SD Muhammadiyah se-Kotagede tidak menyetujui kebijakan tersebut. Dan kemudian tidak menganjurkan lagi pada para siswa lulusannya untuk masuk ke SMP Muhammadiyah Kotagede. Dilema berat dialami oleh SMP Muhammadiyah Kotagede sebab kenyataannya dalam ujian-ujian negara tahun berikutnya, yang lulus hanya 1 siswa, yaitu pak Arsyad AU. 

Kebijakan pembatasan nilai rapor minimal tetap dianjurkan, dan dugaan menjadi kenyataan yaitu tidak ada siswa yang mendaftar karena kebijakan tersebut tidak didukung oleh Kepala-kepala Sekolah Dasar Muhammadiyah se-Kotagede. 

Menurut pak Mulyono yang waktu itu juga merupakan guru SMP Muhammadiyah di Tegalgendu, penyebab bubarnya SMP Muhammadiyah di Tegalgendu karena banyak faktor. Namun faktor dominan justru berasal dari guru. Tahun-tahun tersebut profesi jadi guru sama-sekali tidak menjanjikan sedangkan faktor ekonomi dan politik sangat menggiurkan. Banyak teman guru yang merubah haluan menjadi pengusaha sebab ekonomi di Kotagede saat itu sangat berkembang. Ada pula yang memilih berpolitik bermacam-macam partai seperti Masyumi. Sehingga tugasnya sebagai guru menjadi keteteran bahkan dilalaikan. 

Tahun 1961 dan 1962 adalah tahun-tahun terakhir bagi SMP Muhammadiyah untuk menghabiskan sisa-sisa muridnya tanpa punya adik kelas baru. Akhir tahun ajaran 1962 siswa terakhir dilepas dan pintu sekolah pun ditutup untuk selamanya. 

SMP Muhammadiyah Kotagede yang berlokasi di Bodon bertahan 3 tahun sedangkan di Tegalgendu mampu bertahan sampai 8 tahun. Orang picik akan mencatat kehancurannya namun sejarah mencacat kepeloporannya dengan tinta emas. 

B. Kelahiran dan Dasar-Dasar Pengembangan SMP Muhammadiyah 7 Kotagede 

Sejarah menunjukkan bahwa di Kotagede sudah pernah dua kali didirikan sekolah Menengah Muhammadiyah. Namun 2 kali juga mati atau bubar. Hal tersebut menimbulkan suatu keprihatinan bagi segenap Pengurus Muhammadiyah Kotagede khususnya di bidang pengajaran. Keprihatinan saja tentu tidak cukup. Berangkat dari rasa keprihatinan itulah maka Pak As’ari Anwar sebagai anggota pengurus Muhammadiyah Kotagede bagian Pengajaran suatu hari mengajak berbincang dengan Pak Bakhrun Nawawi mengenai rencana untuk mencoba lagi mendirikan SMP Muhammadiyah. 

Banyak faktor yang dianggap sebagai penyebab bubarnya 2 kali SMP Muhammadiyah Kotagede. Namun faktor yang dianggap paling dominan menurut pengamatan Pak As’ari Anwar adalah masalah manajemen. Maka orang yang dianggap tepat untuk menangani masalah ini adalah Pak Bakhrun Nawawi yang saat itu masih kuliah di fakultas Psikologi UGM. 

Pak Bakhrun tidak mempunyai kemampuan yang cukup di bidang pendidikan. Namun di bidang manajemen dialah orang yang paling tepat. Apabila nanti pelajaran sekolah sudah akan dimulai dan memerlukan guru maka tugas Pak Bakhrun Nawawi-lah untuk mencari guru yang sesuai dengan mata pelajaran yang diperlukan. Dimulai dari pembicaraan informal tersebut maka selanjutnya mulailah dibuka pendaftaran bagi siswa baru SMP Muhammadiyah. Alhamdulillah siswa yang mendaftar pun ada Meskipun tidak banyak tetapi dengan beberapa puluh siswa cukuplah bagi sekolah yang baru belajar berdiri. 

Selanjutnya diundanglah teman-teman seangkatan Pak Bakhrun yang rata-rata masih kuliah untuk mengajar di SMP yang baru tersebut. Tidak ada pengguntingan pita, tidak ada pemukulan gong maupun tepuk tangan meriah sebagai tanda awal berdirinya sekolah SMP Muhammadiyah ini. Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim maka pada tanggal 1 Agustus 1965 pelajaran sekolah dimulai. Dan sekaligus dianggap sebagai awal berdirinya SMP Muhammadiyah di Kotagede. 

Adapun tempat yang digunakan adalah Kompleks Masjid Perak Kotagede yang letaknya di sebelah utara Masjid Perak Prenggan. Bersebelahan dengan SD Muhammadiyah Bodon di sebelah Timur dan SD Muhammadiyah Kleco di sebelah Barat pada lokasi gedung yang sama. Jadi bila sedang pelajaran maka guru dan murid SMP Muhammadiyah yang berada ditengah atau di aula itu ditonton oleh anak-anak kecil, yaitu anak-anak SD Muhammadiyah Bodon dan SD Muhammadiyah Kleco tersebut. Namun untunglah para siswa tidak menjadi malu atau kikuk dan sebagainya walaupun ditonton oleh anak-anak kecil. Hal itu terjadi karena memang jumlah anak yang sekolah di Bodon dan Kleco itu juga tidak terlalu banyak sehingga tidak bising dan tidak terlalu mengganggu. Ruang guru, ruang TU apalagi ruang Kepala Sekolah tentu saja belum ada. Jadi yang digunakan sebagai kantor adalah emperan bagian Timur. Sebagai tempat mampir sebentar sebelum seorang guru mulai mengajar atau akan berangkat atau pulang kuliah. 

Guru yang mengajar pun juga belum banyak. Paling banyak dalam 1 hari datang 1, 2 atau 3 orang guru yang mengajar sampai selesai dan pulang. Masalah honor mengajar belum dibicarakan sama sekali. Sekedar minum atau snack saja pun kalau seorang guru ingin ya silahkan bawa sendiri dari rumah. Jadi pada tahap awal ini seorang guru yang bersedia mengajar itu artinya beliau betul-betul bersedia berjuang untuk kemajuan SMP ini. Suasana serba seadanya namun ternyata sekolah terus berlanjut sampai paling tidak 1 semester dari bulan Agustus sampai bulan Desember l965. Padahal berkaitan dengan keadaan politik sekitar akhir tahun ‘65, dimana terjadi pemberontakan G30/S maka sebetulnya suasana di luar cukup mencekam. Jadi kalau seorang guru bersedia datang untuk mengajar dan seorang murid bersedia datang untuk belajar maka hal tersebut sudah merupakan suatu hal yang luar biasa. Artinya mereka memang punya niat betul sekolah. 

Pindah ke Mushola Aisyiah 

Suatu hari seorang guru datang ke Kompleks Masjid Perak untuk mengajar. Ternyata di aula dimana biasanya siswa SMP belajar dipenuhi anak-anak SD Bodon dan Kleco, “ Lho, di mana anak-anak ini ? ” Setelah tanya pada beberapa siswa SD yang ada di situ, barulah pak guru itu tahu bahwa ternyata anak-anak SMP itu sudah pindah. Pindah ke mana ? Ternyata pindah ke Musholla ‘Aisyiah yang terletak di Keboan sebelah Utara Kantor Pos atau Pasar Kotagede itu. Kenapa atau apa sebabnya harus pindah ke mushola, pak guru tadi tidak tahu. Tetapi yang jelas setelah hari itu dan untuk selanjutnya kira-kira mulai akhir Pebruari atau awal Maret itu sekolah SMP Muhammadiyah dilanjutkan di Musholla ‘Aisyiah. Tepatnya di gedung selatan musholla, di bawah pohon jambu air. 

Sementara itu di bangunan sebelah timur mushola, ada juga sekolah yang lain yaitu SKP atau Sekolah Kepandaian Putri Aisyiah. Kondisi SKP Aisyiah pun waktu itu cukup memprihatinkan Diantaranya karena kekurangan guru dan sebagainya. Sehingga kemudian diantara guru-guru SMP Muhammadiyah juga ada yang nyambi membantu mengajar di SKP Aisyiah Sedangkan SMP Muhammadiyah yang semula menempati Kompleks Masjid Perak dan sudah dipergikan dari sana kemudian menempati Mushola Aisyiah. Pelajaran tetap berlanjut walaupun dengan kondisi seadanya. 

Suasana pembelajaran sangat memprihatinkan. Meja, kursi, papan tulis dan perabot lainnya serba seadanya. Namun hal tersebut semakin meningkatkan motivasi siswa maupun guru untuk membuktikan bahwa sekolah ini tidak akan bubar begitu saja seperti kakak-kakaknya SMP Muhammadiyah yang terdahulu. Semua merasa tertantang untuk membuktikan bahwa sekolah ini bisa terus berlanjut. Andai saja sekolah ini bubar maka apa kata orang. “Muhammadiyah Kotagede tidak mampu mendirikan sekolah setingkat SMP”. 

Lain halnya dengan SKP Aisyiah. Ibarat seseorang yang menderita sakit barangkali sudah mengalami komplikasi dari berbagai penyakit sehingga sulit untuk diselamatkan lagi. Sampai akhirnya pada suatu hari yang buram, diiringi bergugurannya daun jambu air kering, SKP Aisyiah ini menemui ajalnya. Bubar! Agar perjalanan arwahnya ke alam baka tidak menemui banyak hambatan maka pengurus Aisyiah Kotagede berniat untuk menyelesaikan masalah dunia yang bertautan dengan SKP Aisyiah termasuk hutang piutang. Diantaranya adalah yang dialami Pak Suhir (H. Suhirman). Suatu hari beliau didatangi pengurus Aisyiah dan beliau diberi uang Rp. 1.000,- sebagai honornya selama beliau membantu mengajar di SKP Aisyiah. Pak Suhir mengucapkan terima kasih. Mari bersama kita doakan agar SKP Aisyiah mendapatkan khusnul khotimah. Amin. 

Murid-murid SMP Muhammadiyah yang saat itu menempati gedung musholla Aisyiah sudah mendengar cerita tentang 2 kakaknya yaitu SMP Muhammadiyah di Tegalgendu yang sudah meninggal, layu sebelum berkembang. Dan kini didepan matanya mereka harus menyaksikan kematian SKP Aisyiah yang masih merupakan saudara dekatnya. Dalam hati mereka juga sempat bertanya “ Akankah kami, SMP Muhammadiyah Kotagede ini, mampu bertahan” 

Kembali ke Komplek Masjid Perak Kotagede

Pada saat itu warga masyarakat Kotagede pada umumnya belum yakin bahwa Muhammadiyah Kotagede mampu mendirikan sebuah sekolah setingkat SMP. Hal tersebut tidak perlu dijawab dengan kata-kata melainkan dengan perbuatan. Pak Asy’ari Anwar yang saat itu dipercaya menjabat sebagai Ketua bagian Pengajaran Muhammadiyah Kotagede menggantikan Drs Supardi yang mengundurkan diri, memboyong kembali SMP Muhammadiyah yang menempati Musholla Aisyiah untuk kembali ke komplek masjid Perak. 

Bangunan gedung komplek masjid Perak merupakan tanah wakaf dari Ibu Siti Sholikhah Atmo Sudigdo yang tanah maupun pembangunan gedungnya dibiayai oleh beliau dan kemudian diserahkan kepada Muhammadiyah Kotagede untuk kepentingan masyarakat khususnya untuk pendidikan. Jadi kalau Muhammadiyah menggunakannya untuk gedung sekolah Muhammadiyah maka hal tersebut sudah tepat. Dan Insya Allah akan menjadikan pahala yang berlipat ganda bagi Ibu Siti Sholikhah Atmo Sudigdo beserta keluarganya. 

Dengan alasan tersebut maka Pak Asy’ari Anwar menempatkan kembali SMP Muhammadiyah di komplek masjid Perak bersebelahan dengan SD Muhammadiyah Bodon dan SD Muhammadiyah Kleco. SMP Muhammadiyah memang pernah menempati Musholla Aisyiah. Namun hal tersebut tidak lama. Mulai sekitar akhir Februari atau awal Maret l966 selama sekitar 6 bulan kedepannya 

Pada tahun kedua nampaknya masyarakat Kotagede sudah mulai memberikan kepercayaan terhadap SMP Muhammadiyah. Hal ini terbukti dari semakin banyaknya siswa yang mendaftar. Memang jumlahnya tidak terlalu banyak, sekitar dua puluhan. Namun hal itu wajar karena memang pada saat itu jumlah anak usia sekolah belum banyak. Di Kotagede dan sekitarnya jumlah anak usia sekolah seluruhnya tidak mencapai lima puluhan. Dari jumlah tersebut yang punya niat sekolah paling juga hanya sekian persennya saja. Jadi kalau misalnya SMP Muhammadiyah mendapat siswa sekitar duapuluhan maka hal tersebut sudah merupakan prestasi khusus. 

Bapak Bakhrun Nawawi yang sejak berdirinya SMP Muhammadiyah yaitu tanggal l Agustus l965, pada bulan September l966 terpaksa meninggalkan sekolah yang masih balita ini karena hendak meneruskan kuliahnya di Australia. Namun tidak perlu terlalu dikhawatirkan karena pada saat itu, hambatan masih ada, namun keberlangsungan sekolah Insya Allah bisa terus berlanjut. 

Sebelum berangkat ke negeri kangguru Pak Bakhrun menggambarkan bahwa sejak SMP Muhammadiyah come back ke kompleks masjid Perak, para guru semakin bersemangat dalam mengajar. Sementara para siswa pun sangat antusias untuk mengikuti pelajaran. Mereka yakin bahwa mereka akan mampu belajar dengan baik sampai selesai dan kemudian melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. 

Berbeda dengan pendapat diatas, Prawoto sebagai siswa yang lulus angkatan pertama mengatakan, “Kalau ada guru yang bersemangat dalam mengajar, betul juga tetapi tidak semua. Ada guru yang sepertinya kurang berminat dan menomorduakan mengajarnya. Namun hal itu maklum karena beliau masih kuliah. Guru yang galak juga ada. Malah ada murid yang pernah dilempar penghapus oleh pak siapa itu, yang mengajar Ilmu Bumi. Tapi beliau baik, disiplin dan nampaknya itu juga untuk kepentingan para siswa.” 

Sebagai siswa pertama saya dan teman-teman pernah sempat mau pindah sekolah. Entah karena apa, sekolah kok ming koyo dolan. Mungkin karena muridnya hanya sedikit atau karena ada sebagian guru yang kurang sungguh-sungguh dalam mengajar karena mereka juga masih kuliah. Waktu itu kami berombongan berusaha pindah ke sekolah Muhammadiyah yang ada di Pugeran, Mangkulayan, Warungboto, Karangkajen. Ternyata semua sekolah Muhammadiyah itu tidak ada yang mau menerima kami sehingga akhirnya kami kembali ke SMP Muhammadiyah Kotagede dan diterima kembali. Jadi kami sekolah lagi waktu itu. 

Soal honor guru-gurunya waktu itu nampaknya juga perjuangan. Soalnya mau dapat honor dari mana wong saya sendiri juga ibaratnya sekolah nggak pernah bayar. Kalau gurunya mau dibayar, mau dibayar pakai apa, muridnya saja pada tidak bayar. Selama tiga tahun itu boleh dikata saya hampir tidak pernah membayar, bahkan kadang-kadang saya diparingi buku oleh pak guru. Jadi saya mengucapkan terimakasih betul. 

“Sebagai wakil dari teman sembilan orang siswa yang lulus angkatan pertama, saya merasa ikut bersyukur, ikut senang, bangga dan bahagia karena ternyata SMP Muhammadiyah 7 sekarang sudah semakin bagus dan makin meningkat”. Selanjutnya kalau SMP Muhammadiyah 7 perlu bantuan apa-apa silakan datang saja ke tempat saya. Mit ya, yang terakhir tadi tambahan dari redaksi. 

Sayup-sayup Sampai 

Sejak berdirinya SMP Muhammadiyah Kotagede mempunyai status : Terdengar. Sampai Pak Bakhrun Nawawi belajar ke Australia September 1966 statusnya pun masih terdengar. Ketika digantikan oleh Pak Muhammad Salman Ja’far tahun 1966 statusnya tetap tedengar sayup-sayup sampai. Namun begitu perkembangannnya cukup meyakinkan yang ditandai dengan jumlah murid yang semakin meningkat. Kelas satu mulai ada satu kelas, kelas dua juga satu kelas, kelas tiga juga ada satu kelas. 

Menginjak akhir tahun ajaran 1968 kelas tiga memerlukan ujian untuk menentukan kelulusannya. Oleh karena itu maka perlu adanya status yang resmi dari sekolah agar para siswa bisa mengikuti ujian sekolah maupun ujian negara. Maka kemudian dibuatlah surat permohonan untuk mendapatkan status sekolah tersebut. Nampaknya tidak terlalu sulit untuk urusan status ini. Pada tanggal 8 April 1968, terbit surat pengesahan SMP yang pertama dengan status : Sekolah Swasta yang sah yaitu dengan Nomor : 420/A/A.21/SDSMP/68 dari Kepala Inspeksi Daerah SMP pada Kantor Dirjen Dikdas DIY. Mulai saat itu SMP Muhammadiyah Kotagede ditetapkan sebagai sekolah swasta yang sah artinya para siswanya boleh mengikuti ujian walaupun dalam pelaksanaan ujiannya harus menggabung pada sekolah lain yang terdekat yaitu SMP Negeri 9 Yogyakarta. 

Di samping status tersebut di atas di dalam kalangan Muhammadiyah Kodya Yogyakarta kedudukan SMP Muhammadiyah Kotagede pada tahun itu juga semakin mantap yaitu masuk dalam barisan SMP Muhammadiyah di Kotamadya Yogyakarta dengan nomor urut 7, sehingga mulai tahun 1968 nama SMP Muhammadiyah Kotagede dikenal dengan nama SMP Muhammadiyah 7 Kotagede Yogyakarta. 

Pada akhir tahun 1968 atau tepatnya Agustus 1968 Pak Muhammad Salman Ja’far tidak dapat melanjutkan tugasnya sebagai Kepala Sekolah karena pada waktu itu beliau ditugaskan oleh pemerintah menjadi guru di pulau paling pedes di Indonesia yaitu pulau Lombok. Pada waktu beliau tinggalkan keadaan sekolah sudah semakin membaik. Masyarakat sudah semakin percaya kepada sekolah sehingga jumlah siswa sudah lumayan banyak. 

Untuk mengisi kekosongan jabatan Kepala sekolah yang ditinggalkan oleh Bapak Muhammad Salman Ja’far maka diadakan rapat dewan guru. Dalam rapat tersebut terjadi saling iren siapa yang bersedia menjadi kepala sekolah. Memang pada saat itu menjadi kepala sekolah amatlah berat. Wis ora ono apa-apane nek ono salahe, paling duluan disalahke. Akhirnya setelah dialem dikatakan sebagai guru yang paling pantas untuk menjadi kepala sekolah karena punya ijazah sekolah guru maka akhirnya Pak Kohari berhasil diplekotho menjadi kepala sekolah. Setelah yakin beliau bersedia menjadi kepala sekolah maka usulan pun diproses. 

Dari Pimpinan Muhammadiyah Cabang Kotagede usulan dikirim ke Majlis dan kemudian ditukar dengan SK Kepala Sekolah dari Majlis Pendidikan Muhammadiyah Yogyakarta. Mulai tahun 1968 Pak Kohari resmi menjadi Kepala Sekolah SMP Muhammadiyah 7 Kotagede. 

Menyadari bahwa dirinya setengahnya rada diakali waktu proses pencalonan dirinya menjadi Kepala Sekolah maka beliau juga mempunyai akal yang lebih jitu. Beliau tidak mau menanggung atau tidak mau bertanggung jawab sendirian terhadap kemajuan sekolah. Tanggung jawab itu akan menjadi lebih ringan kalau ditanggung bareng-bareng. Maka beliau punya inisiatif membentuk suatu tim yang dinamakan Tim-9. Terdiri dari sembilan orang yang merupakan motor penggerak keberlangsungan SMP Muhammadiyah 7 ini. 

Tim-9 terdiri dari sembilan orang yaitu : Pak Kohari sebagai Kepala Sekolah, Pak Sugeng Suparto sebagai Wakil Kepala Sekolah, Pak Suhirman Bendahara, Pak Hadjoewad, Pak Kamali, Pak Arsjad AU, Pak Rahmadi, Pak Dahrowi dan Pak Wahzary yang waktu itu sebagai guru juga merangkap sebagai sebagai Tata Usaha. Tim-9 inilah yang nantinya sering disebut Pengurus Sekolah. Dalam tim-9 inilah segala sesuatu permasalahan sekolah diputuskan bersama. Bila sekolah membuat keputusan bukan lagi keputusan kepala sekolah tapi keputusan sekolah. Dengan demikian semua yang terjadi akibat dari suatu keputusan merupakan tanggung jawab sekolah. Pinter to Pak Kohari. Salah satu ciri khas dari tim-9 adalah kalau rapat supaya tidak mengganggu proses belajar mengajar, maka dilakukan malam hari mulai setelah Isya sampai tengah malam. 

Sebagai motor penggerak, maka sebetulnya tim sembilan ini juga tidak punya hak khusus termasuk fasilitas, finansial dan sebagainya. Semua memang masih berstatus guru tidak tetap, jadi ya rekoso ditanggung bareng. Maka justru bersembilan orang inilah yang lebih ngrekoso, dibandingkan dengan teman-teman guru pada waktu itu yang jumlahnya sudah banyak. 

Ketika jumlah murid bertambah banyak maka uang SPP pun secara perlahan atau sedikit demi sedikit dinaikkan. Namun begitu tetap masih belum cukup untuk menggaji para guru. Artinya pengorbanan para guru masih jauh lebih besar dibandingkan dengan HR yang diterimanya. 

Dalam keadaan seperti itu maka tim-9 inilah yang berada paling depan menghadapi masalah-masalah berat yang dihadapi sekolah. Salah satu kegiatan yang besar dan berat ialah pada akhir tahun ajaran 1968 adalah menyelenggarakan ujian akhir bagi siswa kelas 3. Waktu itu siswa kelas 3 yang siap menghadapi ujian masih tersisa sembilan siswa. Agar kesembilan siswa ini nanti bisa lulus dengan nilai yang baik, maka kemudian dilaksanakan berbagai cara yaitu meningkatkan pengajaran dengan sebaik-baiknya, mengadakan les dan yang cukup berani adalah mengasramakan mereka di sekolah selama seminggu. Hal ini dilakukan dengan harapan mereka bisa lebih konsentrasi dan lebih siap untuk belajar menghadapi ujian. 

Pada waktu ujian itu ada 2 macam yaitu Ujian Sekolah dan Ujian Negara. Dalam ujian sekolah maupun ujian negara Alhamdulillah sembilan siswa lulus semua. Nilai ujian negara justru lebih tinggi dibandingkan dengan nilai ujian sekolah. Hal ini berarti ujian sekolah yang diselenggarakan para guru itu malah ternyata lebih sulit soalnya. Sedangkan soal-soal ujian negara yang waktu itu dalam pelaksanaannya SMP Muhammadiyah 7 masih nggabung dengan SMP Negeri 9 berarti oleh para siswa soal-soalnya dirasa lebih mudah sehingga nilainya lebih baik. 

Pada waktu pengumuman kelulusan, Pak Kohari dengan mantap mengumumkan bahwa murid-murid SMP Muhammadiyah 7 lulus 100 % dalam ujian sekolah maupun ujian negara. Hal tersebut merupakan suatu prestasi khusus yang membuat masyarakat Kotagede dan sekitarnya semakin percaya terhadap SMP Muhammadiyah 7 Kotagede. 

Salah satu upaya sekolah untuk menunjukkan keberadaan sekolah misalnya mengadakan lustrum pertama pada tahun l970. Karena tontonan belum banyak maka sambutan masyarakat pun cukup antusias. Kegiatan yang digelar yaitu pertandingan sepakbola, pasar murah dan pameran, semua dipadati pengunjung. Pada tahun 1974 Pak Kohari mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Kepala Sekolah, karena beliau mendapatkan SK tugas dari pemerintah untuk menjadi guru di Pegunungan Seribu. Beliau masih bersedia mengajar walaupun sebagai guru yang nyambi artinya sebagian besar harinya di Gunung Kidul dan satu atau dua hari sisanya digunakan untuk mengajar di SMP Muhammadiyah 7. 

Dari Berbantuan ke Bersubsidi 

Pada masa akhir jabatannya inilah sekolah mengusulkan dan akhirnya di acc menjadi sekolah dengan status sekolah swasta Berbantuan. Adapun besarnya bantuan finansial dari pemerintah berupa sejumlah uang untuk tiap siswa yang dikalikan jumlah siswa yang ada. Uang tersebut oleh sekolah digunakan sebagai tombok biaya operasional sekolah. 

Pada tahun 1975 untuk pertama kalinya ada tenaga khusus yang menangani bidang tata usaha yaitu Bapak Syam Wakhid. Beliau dibantu oleh Pak Soemardjo tetapi hanya sekitar satu tahun terus mengundurkan diri. Pak Syam Wakhid mulai bribik-bribik untuk memperbaiki, merapikan dan melengkapi administrasi sekolah. 

Pada tahun l975 itu juga kembali digelar lustrum yang ke-2. Untuk urusan transportasi waktu itu masih jarang orang punya mobil. Maka sekolah meminjam mobil KP3Y dengan kontrak kegiatan sampai lustrum selesai. Kegiatan lustrum bermacam-macam, ada layar tancep, pameran, bazar dan lain-lain, pokoknya meriah eui!! 

Mengenai status sekolah sebetulnya ada suatu kesempatan untuk meningkatkan status dari sekolah swasta Berbantuan menuju ke status Bersubsidi. Tetapi nampaknya sulit. Banyak yang harus dikerjakan. Tidak bisa dikerjakan sendiri. Maka kemudian semua guru termasuk tata usaha, tim-9 dan semua warga sekolah bahu-membahu untuk membereskan kelengkapan yang harus dipersiapkan untuk mencapai status sekolah Bersubsidi. 

Untuk urusan ekstern maka tokoh yang pada waktu itu sangat berperan adalah Bapak Jumeri Martokusumo dari Joyopranan itu. Beliau dulu pernah bekerja di Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Yogyakarta sehingga beliau bisa banyak membantu dan tahu caranya untuk mengurus masalah tersebut. Beliau punya trik-trik khusus yang bisa mengakrabkan atau mendekatkan dengan seseorang. Misalnya begini, sekolah mengundang pejabat dari Dinas P & K. Ketika tamu tersebut datang, Pak Jumeri masuk ke ruang tamu dan beliau pura-pura tidak tahu, “Lho, ada tamu to ini ?” Padahal sebetulnya tamu tersebut memang sudah diundang. Sehingga dengan demikian seolah-olah lawan bicara pun membatin, ketoke wong iki wis biasa ngadepi pejabat. Maka suasana jadi akrab dan urusanpun jadi lancar. 

Begitu pula waktu ke Jakarta membawa usulan menuju status Bersubsidi tersebut. Setelah sampai di Jakarta kemudian masuk ke Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Begitu masuk ruangan, dengan suara yang sengaja dikeraskan beliau berkata, “ Lho, sekarang gambarnya sudah diganti to ? Dulu gambar ini belum ada” Jadi seolah-olah dulunya beliau pernah ngantor di situ. Sehingga pegawai yang ada di situ merasa terkesan dan pada membatin, “Wah, wong iki berarti wong lawas. Mbiyen tau neng kene suwe.” Padahal Pak Jumeri sendiri barangkali juga belum pernah ke situ. Inilah beberapa trik yang waktu itu cukup jitu, sehingga akhirnya status Bersubsidi bisa lebih cepat dicapai. Tentu saja juga dengan suatu kerja keras dari seluruh warga SMP Muhammadiyah 7. 

Akhirnya status Bersubsidi didapat dengan terbitnya Surat Keputusan Menteri P& K RI Tanggal 26 April 1976 Nomor 91714/D/1/76 status ini terhitung mulai 1 Januari 1976. Saat itu jabatan kepala sekolah sudah digantikan oleh Bapak Suhaib Anwar Yusuf, BA. 

Awal Mula Lokasi Tanah Jeron Boto Purbayan Kotagede

Kejadian tersebut terjadi pada tahun l975. Ketika itu Pak Siswanto mengatakan pada Pak Wahzary bahwa famili istrinya yaitu keluarga Pak Kridhoharsoyo pemilik tanah Jeron Boto Purbayan menanyakan tentang kemungkinan untuk mewakafkan tanahnya di Purbayan tersebut. Pak Wahzary berjanji akan menyampaikan hal tersebut pada Pak Asyari, ketua Muhammadiyah bagian Pengajaran. 

Pak Asyari cukup tanggap dengan keinginan wakaf tanah dari keluarga Kridhoharsoyo tersebut. “Wah, nek kuwi wong sugih tenan” katanya. Tanah yang akan diwakafkan tersebut luasnya 2.700 m2. Pemiliknya adalah atas nama adiknya (Bp Drs. Kusnaeni) yang tinggalnya di Jakarta. 

Pak Asyari segera merembuk hal tersebut dan dalam waktu singkat terlaksanalah keinginan dari keluarga Pak Kridhoharsoyo tersebut. Pada tanggal l Juli l98l ditandatangani perjanjian hak pakai tanah di Purbayan antara PCM Kotagede dengan pemilik tanah (Drs. Kusnaeni di Jakarta) di depan / di hadapan Notaris Daliso Rudianto SH. 

Dalam perjanjian tersebut dinyatakan bahwa pemberian hak pakai itu tanpa batas waktu artinya selama PCM Kotagede masih memerlukan tanah tersebut maka hak pakai tanah tersebut tetap berlaku. 

Pada saat itu PCM Muhammadiyah bagian Pengajaran membuat kebijakan yaitu memdirikan sekolah SMA Muhammadiyah 4. Adapun tempatnya menggunakan bangunan sebelah selatan Masjid Perak Kotagede. Guru dan karyawan SMP Muhammadiyah 7 berpartisipasi menjadi panitia persiapan pendaftaran siswa baru yang pertama pada akhir tahun 1977 dan pendaftaran dimulai awal tahun 1978 yang selanjutnya menjadi tahun pertama berdirinya SMA Muhammadiyah 4 Kotagede. 

Sejalan dengan perkembangan jumlah siswa SMP Muhammadiyah 7, begitu pula dengan SMA Muhammadiyah 4 mulai berdiri serta telah dibangunnya gedung sekolah baru (5 ruangan) di Selatan Masjid Perak, maka PCM Kotagede membuat ketetapan tentang penggunaan gedung sekolah milik Muhammadiyah Kotagede sebagai berikut : 
  1. SD Muhammadiyah Kleco dan SD Muhammadiyah Bodon yang dulu menempati sebagian gedung Komplek Masjid Perak (yang ada di sebelah Utara Masjid Perak) dikembalikan ke pusat sekolah masing-masing. 
  2. Gedung Komplek Masjid Perak baik yang terdapat di sebelah Utara maupun Selatan Masjid Perak, digunakan untuk SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta. 
  3. SMP Muhammadiyah 7 Yogyakarta yang selama ini berada di Komplek masjid Perak, akan menempati lokasi baru yaitu di Komplek Purbayan. 

Pindah ke Purbayan Kotagede

Kepindahan ke Purbayan akan dilaksanakan secara bertahap apabila lokasi di Jeron Boto sudah siap ditempati. Dan pembangunan di komplek Jeron Boto dimulai secara bertahap. 

Mula-mula dibangun 5 ruang kelas. Ketika pembangunan dimulai pada tanggal l0 Januari l981, Pangeran Mangkubumi (sekarang menjadi Sultan Hamengkubuwono X) berkenan meletakkan batu pertama pembangunan tahap awal tersebut. Biaya pembangunan 5 ruang tersebut seluruhnya ditanggung oleh keluarga Kridhoharsoyo. 

Mulai 24 Oktober l984 secara bertahap SMP Muhammadiyah 7 menempati lokasi di Purbayan. Dimulai dengan 3 rombongan belajar kelas II A, B, C yang semua masuk siang di Komplek Masjid Perak, mulai masuk pagi dengan menempati bagian Selatan unit Gedung Kridhoharsoyo Purbayan. 

Pada tahun 1990 SMP Muhammadiyah 7 Yogyakarta mendapat bantuan dana dari Pak Azis keluarga Bapak Haji Mashudi sebesar = Rp 80.000.000.00 (delapan puluh juta rupiah). Dengan dana tersebut tanah hak pakai abadi di Purbayan berhasil dibangun 4 ruang kelas, 1 (satu) rumah untuk tempat tinggal pesuruh / penunggu / penjaga sekolah dan kerangka bangunan tingkat untuk 4 ruang kelas (bangunan baru sampai dak). 

Pembangunan tahun-tahun selanjutnya menggunakan dana dari sekolah dan bantuan dari pemerintah serta masyarakat. Mulai tahun ajaran l994/l995 seluruh kegiatan KBM SMP Muhammadiyah 7 pindah di lokasi Purbayan. 

Memasuki tahun 2000 SMP Muhammadiyah 7 Kotagede telah memiliki 17 buah ruang kelas, Laboratorium IPA, Laboratorium Komputer, Ruang Bimbingan dan Konseling, Ruang Perpustakaan dan Ruang Serba Guna. 

Pada tahun 2004 SMP Muhammadiyah 7 Yogyakarta memperluas sekolah dengan membeli tanah didekatnya seluas 800 m2. 

Dari mana SMP Muhammadiyah 7 mampu membeli tanah seluas itu ? Padahal waktu itu pemilik tanah menawarkan tanah dengan harga tigaratus ribu rupiah per meter. Alkhamdulillah ada warga Muhammadiyah Kotagede yang tinggal di Jakarta berkenan meminjami dana untuk pembelian tanah tersebut. Apalagi tanpa bunga dan dengan jangka waktu yang lama. Jazakumullahu Khoiron Katsiro. 




Saat ini dalam proses pengembangan luas tanah di sebelah Selatannya lagi seluas kurang lebih 1.736 m2. Infak panjenengan sedoyo untuk pembelian tanah tersebut sangat kami harapkan !

Sumber:
http://smpm7-jogja.sch.id
http://smpmuh7yk.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar