Sabtu, 15 September 2012

Artikel: Ingat Perak, Ingat Kotagede

Ingin membeli souvenir perak di Yogyakarta, cobalah datang ke Kotagede, kota kecil yang berjarak sekitar 10 kilometer sebelah tenggara Yogyakarta ini banyak sekali terdapat rumah tangga yang menyandarkan kehidupannya dari kerajinan perak. Di daerah ini, sepanjang jalan masih berdiri tegar rumah-rumah tua peninggalan Belanda dan juga ada rumah perpaduan gaya Eropa dan tradisional Jawa. 

Menurut Happy Sulistiawan, pemandu wisata di Yogyakarta, sebelum berkembang menjadi sentra kerajinan perak, Kotagede merupakan ibu kota Kerajaan Mataram yang pertama, dengan raja pertama Panembahan Senopati. Panembahan Senopati menerima kawasan yang waktu itu masih berupa hutan yang sering disebut Alas Mentaok dari Sultan Pajang, Raja Kerajaan Hindu di Jawa Timur. Kotagede menjadi ibu kota hingga tahun 1640, karena raja ketiga Mataram Islam, Sultan Agung, memindahkannya ke Desa Kerto, Plered, Bantul.

Keberadaan perajin perak muncul searing dengan lahirnya Mataram, juga tak luput dari peran Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang masuk ke Yogyakarta sekitar abad ke-16 silam. Waktu itu, banyak pedagang VOC yang memesan alat-alat rumah tangga dari emas, perak, tembaga, dan kuningan ke penduduk setempat. "Ibu kota memang dipindah dari Kotagede ke Plered, tapi itu tidak membuat para perajin ikut-ikutan pindah. Mereka yang biasanya melayani kebutuhan raja itu tetap mempertahankan dan menjalankan usahanya dengan menjualnya ke masyarakat umum," jelas Happy. 

Dari pengaruh Kerajaan Mataram dan VOC inilah, maka rumah-rumah pada waktu itu bergaya campuran Jawa dan Eropa, atau juga disebut rumah Kalang. Keunikan Rumah Kalang ini adalah adanya perpaduan unsur Jawa dan Eropa, yaitu joglo yang dijadikan rumah induk terletak di bagian belakang dan di depan bangunan model Eropa.

Bangunan Eropa ini cenderung ke bentuk baroque, berikut corak Corinthian dan Doriq. Sedang pada bangunan joglonya, khususnya pendopo sudah termodifikasi menjadi tertutup, tidak terbuka seperti pendopo joglo rumah Jawa. Pendopo Jawa umumnya terpisah dari bangunan utamanya, sedangkan yang ini menyatu. 

Relief-relief dengan warna-warna hijau kuning, menunjukkan bukan lagi warna-warna Jawa lagi. Munculnya kaca-kaca warna-warni yang menjadi mosaik penghubung antar pilar-pilar, menunjukkan joglo ini memang sudah menerima sentuhan lain. 

Rumah bergaya campuran Jawa dan Eropa ini yang sekarang menjadi milik keluarga Ansor terletak sekitar 300 meter di utara Pasar Kotagede. Sambil menikmati keindahan arsitektur masa lampau, wisatawan juga bisa membeli kerajinan perak yang diukir indah oleh tangan-tangan terampil serta menikmati santapan lezat di rumah keluarga Ansor yang telah dijadikan salah satu galeri perak terbesar Kotagede serta sebuah restoran tanpa merubah bentuk asli rumah tersebut. 

Sumber: Majalah Travel Club

Bus TransJogja Arah Kotagede


Trans Jogja adalah sebuah sistem transportasi bus cepat, murah dan ber-AC di seputar Kota Yogyakarta, Indonesia. Trans Jogja merupakan salah satu bagian dari program penerapan Bus Rapid Transit (BRT) yang dicanangkan Departemen Perhubungan. Sistem ini mulai dioperasikan pada awal bulan Maret 2008 oleh Dinas Perhubungan, Pemerintah Provinsi DIY. Motto pelayanannya adalah “Aman, Nyaman, Andal, Terjangkau, dan Ramah lingkungan”. 

Sistem yang menggunakan bus (berukuran sedang) ini menerapkan sistem tertutup, dalam arti penumpang tidak dapat memasuki bus tanpa melewati gerbang pemeriksaan, seperti juga TransJakarta. Selain itu, diterapkan sistem pembayaran yang berbeda-beda: sekali jalan, tiket pelajar, dan tiket umum berlangganan. Ada tiga macam tiket yang dapat dibeli oleh penumpang, yaitu tiket sekali jalan (single trip), dan tiket umum berlangganan. Tiket ini berbeda dengan karcis bus biasa karena merupakan merupakan kartu pintar (smart card). Karcis akan diperiksa secara otomatis melalui suatu mesin yang akan membuka pintu secara otomatis. Penumpang dapat berganti bus tanpa harus membayar biaya tambahan, asalkan masih dalam satu tujuan. 

Pengelola Trans Jogja adalah PT Jogja Tugu Trans, sebagai wujud konsorsium empat koperasi pengelola transportasi umum kota dan pedesaan di Yogya (Koperasi Pemuda Sleman, Kopata, Aspada, dan Puskopkar) dan Perum DAMRI.

Tiket

Tiket Single Trip
  • Tiket sebesar Rp. 3.000,00 untuk setiap perjalanan. 
  • Penumpang membeli tiket Single Trip di semua lokasi halte 
  • Penumpang menerima tiket Single Trip dan tiket siap digunakan.
Tiket Reguler Umum
  • Tiket sebesar Rp. 2.700,00 untuk setiap perjalanan. 
  • Penumpang membeli tiket Regular di halte bertanda POS/Card Center (Dinas Perhubungan Prov. DIY) 
  • Penumpang menerima tiket Regular sesuai nominal yang dibeli dan siap digunakan 
  • Pilihan nominal pulsa/isi ulang Rp 15.000,- (lima belas ribu rupiah), Rp 25.000,- (dua puluh lima ribu rupiah), Rp 50.000,- (lima puluh ribu rupiah), dan Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah) 
Tiket Reguler Pelajar
  • Tiket sebesar Rp. 2.000,00 untuk setiap perjalanan. 
  • Pelajar mendaftar secara kolektif di sekolah 
  • Pihak sekolah menghubungi Dinas Perhubungan Provinsi DIY dan petugas akan datang ke sekolah 
  • Petugas menyerahkan tiket di sekolah dan tiket siap digunakan 
  • Kartu tiket perdana bernilai Rp 15.000,- (lima belas ribu rupiah) Pilihan isi ulang pulsa Rp 15.000,- (lima belas ribu rupiah), Rp 25.000,- (dua puluh lima ribu rupiah), Rp 50.000,- (lima puluh ribu rupiah), dan Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah) 
Lokasi POS (Point of Sales)
Jika Anda ingin membeli tiket berlangganan, Anda dapat mengunjungi halte yang sekaligus sebagai POS (Point of Sales) tiket Trans Jogja. Berikut ini adalah halte yang sekaligus menjadi lokasi POS.
  1. Halte Bandara Adisucipto 
  2. Halte Terminal Jombor 
  3. Halte Laksda Adisucipto Ambarukmo Plaza 
  4. Halte Terminal Giwangan 
  5. Halte Senopati Taman Pintar 
  6. Halte Tentara Pelajar SAMSAT 
  7. Halte Jl. Kaliurang Kopma UGM 
  8. Halte Sudirman Bethesda 

Card Center
Dinas Perhubungan Provinsi DIY
Jl. Babarsari 30 Yogyakarta
Telp. (0274)485775 – (0274)487335
Fax. (0274)485405

Trayek Arah Kotagede

Bus TransJogja memiliki dua trayek yang melewati Kotagede, bagi siapa saja yang ingin naik bus TransJogja untuk sampai ke Kotagede silakan simak rute perjalanan berikut:

Trayek 3A : Terminal Giwangan – Kotagede – Bandara Adisucipto – Ringroad Utara – MM UGM – Pingit – Malioboro – Jokteng Kulon 

Terminal Giwangan – S4. Tegalgendu – S3. HS-Silver – Jl. Nyi Pembayun – S3. Pegadaian Kotagede – S3. Basen – S4. Rejowinangun – S4. Babadan Gedongkuning – JEC – S4. Blok O – Janti (lewat atas) – S3. Janti – S3. Maguwoharjo – Bandara ADISUCIPTO – S3. Maguwoharjo – Ringroad Utara – Terminal Condongcatur – S4. Kentungan – S4. MM UGM – S4. MirotaKampus – S3. Gondolayu – S4. Tugu – S4. Pingit – Bundaran SAMSAT – S4. Badran – S3. PasarKembang – Stasiun TUGU – Malioboro – S4. Kantor Pos Besar – S3. RS PKU Muhammadiyah – S4. Ngabean – S4. Jokteng Kulon – S4. Plengkung Gading – S4. Jokteng Wetan – S4. Tungkak – S4.Wirosaban – S4. Tegalgendu – Terminal Giwangan.

Trayek 3B : Terminal Giwangan – Jokteng Kulon – Pingit – MM UGM – Ring Road Utara – Bandara Adisuciptp – Kotagede 

Terminal Giwangan – S4. Tegalgendu – S4. Wirosaban – S4. Tungkak – S4.Jokteng Wetan – S4. Plengkung Gading – S4. JoktengKulon – S4. Ngabean – S3. RS PKU Muhammadiyah – S3. Pasar Kembang – S4. Badran – Bundaran SAMSAT – S4. Pingit – S4. Tugu – S3. Gondolayu – S4. Mirota Kampus – S4. MM UGM – S4. Kentungan – Terminal Condong Catur – Ringroad Utara – S3. Maguwoharjo – Bandara Adisucipto – S3. Maguwoharjo – JANTI (lewat bawah) – S4. Blok O – JEC – S4. Babadan Gedongkuning – S4. Rejowinangun – S3. Basen – S3. Pegadaian Kotagede – Jl.Nyi Pembayun – S3. HS-Silver – S4. Tegalgendu – Terminal Giwangan.

Brosur TransJogja


Silakan klik dalam tab baru untuk memperjelas

Sumber: http://transjogja.com

SMA Negeri 5 Kotagede Jogjakarta

Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Yogyakarta berdiri pada lahan seluas 10.028 Meter dengan luas bangunan 3.762 Meter. Sekolah ini telah mendapat akreditasi A dengan nilai hasil akreditasi 96,86 pada tahun 2009. SMA Negeri 5 merupakan sekolah negeri unggulan di kota Yogyakarta. 

Dengan prakarsa para tokoh pendidikan dan tokoh masyarakat di Yogyakarta yang antara lain Bapak R.DS. Hadiwidjono, Bapak Judjanal, prof Ir. Supardi, prof. Suhardi, SH, pada tanggal 17 September 1949 SMA 5 Yogyakarta secara resmi dapat didirikan dengan nama Sekolah Menengah Atas Bagian Yuridis ekonomis (SMA / AC) dan menempati 9 gedung SMA Putri Stella Duce Yogyakarta. 

Pada tanggal 27 Oktober 1949, melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 210 B, SMA/C Negeri. Sebagai Kepala Sekolah adalah Bapak R.DS. hadiwidjono. 

Tanggal 31 Maret 1950 pimpinan sekolah diserahterimakan kepada Bapak Suwito Puspo Kusumo, yang selajutnya diserahterimakan kepada Bapak RA. Djoko Tirtono, SH. Di bawah pimpinan Bapak RA Djoko Tirtono, SH, SMA Bagian C berkembang sangat pesat. 

Tanggal 21 Juli 1952 melalui SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 3094/B, SMA/C dipecah menjadi 2 sekolah, masing-masing. 
  • SMA bagian C Negeri 1 di bawah pimpinan Bapak Parmanto, SH. Yang meematigedung di jalan Pogung No. 2 Kotabaru Yogyakarta, masuk pada siang hari (sekarang menjadi SMA N 5 Yogyakarta). 
  • SMA bagian C Negeri II dipimpin Bapak RA. Djoko Tirtono, SH. Yang menempati gedung yang sama tetapi masuk pada pagi hari (sekarang menjadi SMA N 6 Yogyakarta). 
Untuk mengantisipasi kemajuan jaman dan menyiapkan siswa untuk dapat melanjutkan ke Perguruan Tinggi, maka pada tanggal 1 Agustus 1959 SMA Negeri V Bagian C dijadikan SMA Negeri V Bagian A-C, pada tahun tersebut berhasil dibakukan : 


Tanggal 1 Januari 1964 jabatan Kepala Sekolah diserahterimakan kepada bapak Drs. Hadianto. Jumlah kelas dikembangkan dari 12 menjadi 14 kelas dengan mengelola jurusan Ilmu Pasti, Ilmu Alam, Sosial, dan Budaya. 


Tanggal 1 Agustus 1965 Kepala Sekolah diserahterimakan lagi kepada bapak R. Muh. Solihin, yang kemudian beliau membuka kelas jauh di Kalasan sebagai filial dengan pimpinan bapak Suwardhi, BA. 

Pada tahun 1974 SMA N 5 Yogyakarta mendapat limpahan tugas untuk mengelola SMPP 10 Yogyakarta, yang sekarang menjadi SMA Negeri 8 Yogyakarta. Pada bulan Januari 1974 SMA N 5 Yogyakarta bersama-sama SMPP 10 Yogyakarta pindah dari Kotabaru ke Jalan Kenari Muja Muju Yogyakarta. Pada saat itu dirasakan ada dualisme pengelolaan administrasi dalam satu lingkungan pendidikan sehingga berakibat nyaris punahnya nama SMA N 5 Yogyakarta. Dengan diserahterimakannya tampuk kepemimpinan SMA N 5 kepada Ibu S Handrioetomo pada tanggal 14 April 1975, SMA N Yogyakarta dapat menggelit untuk bangkit berdiri sendiri. Upaya besar telah dilakukan oleh Ibu S. Handrioetomo yaitu agar SMA N 5 Yogyakarta dapat memiliki gedung sendiri. 

Tanggal 1 April 1979 dilaksanakan serah terima jabatan Kepala Sekolah kepada Bapak Drs. A.Sulistijo karena Ibu S. Handioetomo menjalani masa purna tugasnya. Janji Sisiwa Panca Prasetya Bhineka Dharma Siswa Puspanegara dijadikan acuan dalam memantapkan keberadaan sekolah sebagai wiyata mandala. 

Tanggal 24 Agustus 1981 jabatan Kepala Sekolah diserahterimakan kepada bapak Suwardhi. 

Pada tanggal 1 Oktober 1985, terjadi serah terima jabatan kepala sekolah kepada Bapak Drs. Soehardjo. Di bawah kepemimpinan beliau, sekolah melaksanakan kerja keras dalam bidang administrasi persekolahan, kesehatan dan kerindangan lingkungan sekolah, juga memantapkan sekolah sebagai Wawasan Wiyata Mandala melalui kebersamaan dan kekeluargaan. 

Tanggal 17 Februari 1992 dilakukan serah terima jabatan kepala sekolah kepada Ibu Dra. Sri Soewarni. Beliau berusaha meningkatkan keberadaan sekolah sebagai wujud Wawasan Wiyata Mandala melalui kebersamaan dan kekeluargaan. 

Pada tanggal 2 September 1992 terjadi serah terima jabatan kepala sekolah kepada Bapak R.M. Brotohardono. Beliau merintis berdirinya Yayasan Puspanegara sebagai wadah alumni SMA N 5 Yogyakarta kondisi sekolah terus ditingkatkan melalui reorganisasi pengurus BP3 SMA 5 Yogyakarta dari bapak Prof. Haditono kepada bapak Drs. Pratikto Prawirodiwarno. 

Pada tanggal 14 Agustus 1995 jabatan kepala sekolah diserahterimakan kepada bapak Drs. Sapardi selaku pejabat yang melaksanakan tugas, karena bapa R.M Brotohardono menjalani masa purna tugas. 

Pada tanggal 14 Agustus 1995, terjadi serahterima jabatan kepada bapak Drs. H. Ngabdurrachim berusaha melanjutkan program-program dari pejabat lama yang belum terselesaikan. melalui kerjasama yang harmonis dengan pengurus BP3 mengupayakan program baru untuk jangka pendek dan jangka 5 tahun, antara lain :

  1. Pengukuhan Yayasan Puspanegara sebagai wadah kegiatan darma bakti keimanan SMA N 5 Yogyakarta 
  2. Peningkatan keimanan dan ketagwaan di lingkungan sekolah 
  3. Peningkatan dan penertiban administrasi pendidikan/sekolah 
  4. Peningkatan prestasi belajar melalui program intensifikasi belajar di sekolah 
  5. Pembangunan kantor dan ruang guru 2 lantai sebagai wajah SMA 5 Yogyakarta 
  6. Pembangunan sarana tempat beribadah 
  7. Mengupayakan agar sekolah berprestasi sebagai sekolah tipe A 

Mulai tanggal 1 Juli 1999 SMA N 5 Yogyakarta diserahterimakan kapada bapak Drs. Panut S, karena bapak Drs. H. Ngabdurrachim menjalani masa purna tugas. Bapak Drs. Panut S. menjabat untuk beberapa bulan. Pada bulan Desember 1999 datanglah kepala sekolah yang baru yaitu bapak Drs. H. Ilham. Pada periode Bapak Drs. H. Ilham program utama yang paling ditekankan adalah peningkatan ketaqwaan sehingga pada saat ini salah satu wujud adalah diresmikannya masjid SMA 5 Yogyakarta dengan nama Masjid DARUSSALAM PUSPANEGARA. Beliau menjabat hingga purna tugas, mengingat perlu adanya pejabat kepala sekolah di SMA N 5 Yogyakarta, maka bulan Desember 2001 Bapak Drs. Timbul Mulyono, Kepala SMA N 7, ditunjuk Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta untuk menjabat sementara sebagai kepala sekolah. 

Pada tanggal 25 Maret 2002 kepala sekolah dijabat oleh Bapak Drs. H. Abu Suwrdi. Pada periode ini ini beliau menekankan pembangunan etos kerja pada semua guru dan karyawan dan membangun kedisiplinan pada para siswa. Pada periode ini pula bapak Drs. H. Abu Suwardi menyempurnakan Visi dan Misi sekolah sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan agar program kerja dan kegiatan sekolah dapat lebih terarah dalam menggapai target-target kualitas pendidikan yang diharapkan. 

Pada tanggal 7 Juli 2005 Kepala Sekolah diserahterimakan kepada Bapak Drs. Zamroni, M.Pdi. Dengan memohon pertolongan dari Tuhan YME semoga SMA Negeri 5 Yogyakarta diperkenankan untuk mewujudkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang senantiasa memiliki akhlak yang mulia" Trus Hakarya Ruming Praja". Karena kekhasan nama SMA 5 dengan huruf "C", maka hingga saat inipun masyarakat lebih sering menyebut SMA N 5 Yogyakarta dengan sebutan "MACHE".

Visi 
Menciptakan manusia yang memilki citra moral, citra kecendiakawanan, citra kemandirian, dan berwawasan lingkungan berdasarkan atas ketaqwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa 

Misi 

  1. Terbentuknya insan pelajar yang memiliki moral, perilaku yang baik, berbudi pekerti luhur berbudaya bangsa Indonesia dan berakhlakul karimah berdasarkan aturan-aturan yang berlaku baik di kalangan masyarakat, sekolah, negara/maupun agama. 
  2. Terbentuknya generasi yang mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi berjiwa patriotis, nasionalis tanpa mengabaikan nilai-nilai moral serta nilai-nilai luhur kebangsaan maupun keagamaan. 
  3. Terbentuknya generasi yang berjiwa mandiri, senang beraktivitas dan berkreatifitas untuk menatap kehidupan masa depan yang lebih cerah dalam menghadapi berbagai tantangan di era kompetisi dan globalisasi


Akreditasi 
  • Nilai Akreditasi: 96.86
  • Peringkat Akreditasi: A 
  • Tanggal Penetapan: 22-Nov-2008
Kurikulum
SMA Negeri 5 Yogyakarta menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.

Fasilitas 
Berbagai fasilitas di SMA Negeri 5 Yogayakarta semakin bertambah dari waktu ke waktu. Fasilitas-fasilitas tersebut antara lain: 

  • Setiap Ruang kelas yang dilengkapi LCD Projector, Kipas Angin, Lampu, Dispenser, dan Lemari 
  • Ruang perpustakaan 2 lantai 
  • Ruang Kepala Sekolah dan Wakil Kepala Sekolah 
  • Ruang Guru Masjid 
  • Ruang Bimbingan Konseling 
  • Ruang Tata Usaha Laboratorium fisika 1 buah Laboratorium kimia 1 buah Laboratorium biologi 1 buah Laboratorium bahasa Laboratorium komputer siswa 2 buah 
  • Ruang Audio Visual 
  • Ruang Multimedia 
  • Ruang AULA (atas dan bawah) Wi-Fi dengan 8 titik hotspot Lapangan bola basket Lapangan bola voli Lapangan badminton Tempat parkir sepeda, sepeda motor dan mobil Taman 
  • Ruang UKS (untuk konsultasi ke dokter sekolah) 
  • Ruang OSIS 
  • Ruang Keterampilan 
  • Ruang Teater 
  • Ruang Tata Boga Kantin Koperasi
Arti Lambang 
Lambang Sekolah "Puspanegara" yang memiliki tugas suci' Trus Hakarya Ruming Praja' mengandung makna "agar nantinya para warga SMA N 5 Yogyakarta terus bekarya demi keharuman Negara dan Bangsa".

Alamat
Jalan Nyi Pembayun No. 39 Kotagede Yogyakarta
Telp: +62-274-377400
Fax: +62-274-377400

Website:  http://www.sman5yk.sch.id

Referensi : Akreditasi SMA Negeri 5 Yogyakarta

Jumat, 14 September 2012

Watu Gilang dan Watu Gatheng Kotagede

Kotagede sekarang lebih terkenal dengan kerajinan peraknya. Selain itu, Kotagede merupakan bagian dari Jogja yang penuh nilai sejarah karena di daerah ini pernah berdiri kerajaan Mataram Islam pada abad XVI-XVII, sebelum akhirnya berpindah ke Kertosuro tahun 1614. Mblusuk ke daerah ini kita bisa melihat peninggalan-peninggalan Mataram yang didirikan tahun 1575 oleh Panembahan Senopati.

Diantara beberapa peninggalan Mataram Islam di Kotagede adalah situs Watu Gilang dan Watu Gatheng. Lokasinya kira-kira 1 km di sebelah selatan pasar dengan menyusuri jalan sisi barat, atau sekitar 300 m di selatan makam. Watu Gilang merupakan batu hitam berbentuk persegi, berukuran 2 m di setiap sisinya, tingginya 30 cm dan terletak di sebuah ruangan yang sengaja dibuat untuk untuk melindungi batu ini. Oleh penduduk, batu ini dipercaya dulunya merupakan dampar atau singgasana Panembahan Senopati. Pada sisi timur batu ini terdapat kikisan seperti bekas bekas pukulan sesuatu. Dulu batu ini terletak di Pendopo, tapi peninggalan Pendopo sudah tidak ada lagi sejak runtuhnya kerajaan Mataram ini.

Ruangan tempat Watu Gilang ini berukuran 3×3 m di tengah pelataran yang dulunya berupa keraton. Dalam ruangan ini juga terdapat tiga batu kuning berbentuk bola yang biasa disebut Watu Gatheng (batu yang mangagumkan) dengan ukuran berbeda-beda.. Ketiga batu ini terletak di sebelah selatan pintu masuk. Di sisi pintu sebelah utara terdapat gentong dari batu hitam setinggi 80 cm dengan beberapa cekungan sebesar jari tangan di sisi depannya.

Kisah Watu Gilang

Watu Gilang dan Watu Gatheng memiliki kisah sendiri-sendiri dibalik keberadaannya. Konon Ki Ageng Mangir, tokoh pemberontak kerajaan yang terpikat oleh putri raja bernama Ni Pembayun dan kemudian menikahinya. Ni Pembayun mengajak Ki Ageng Mangir menghadap ayahnya untuk merestui pernikahan mereka.Awalnya Mangir menolak karena bagaimanapun ia adalah buronan dan pengkhianat bagi Panembahan Senopati. tapi di sisi lain Panembahan Senopati adalah mertuanya, tapi demi cintanya pada Ni Pembayun akhirnya Mangir memenuhi permintaan istrinya untuk menghadap Panembahan Senopati.

Sesampai di Keraton Kotagede, pengawal melrang Mangir masuk karena masih membawa senjatanya (tombak ki baru klinthing). atas dasar etika kerajaan yang melarang membawa senjata bila menghadap raja, maka Mangir meletakkan senjatanya dan menghadap mertuanya untuk meminta restu. Namun karena sang raja begitu membencinya, seketika itu juga kepala Mangir dibenturkan ke dampar tempat duduknya hingga meninggal seketika. Dan itulah mengapa pada sisi timur Watu Gilang terdapat cekungan. Itu adalah bekas benturan kepala Mangir. Karena status Mangir sebagai pemberontak sekaligus menantu kerajaan, maka ia dikubur di makam keluarga raja dengan setengah badan di luar tembok makam dan setengah badan di dalam. Sementara ni pembayun sendiri setelah meninggal malah tidak dimakamkan di makam kotagede. Menurut cerita, sejak meninggalnya Mangir, Ni Pembayun kemudian dititipkan pada Ki Ageng Karanglo dan dimakamkan di Karang turi, 2 km sebelah timur Kotagede. 

Kisah Watu Gatheng 

Konon Panembahan Senopati juga memiliki putra hasil perkawinannya dengan penguasa laut selatan, Nyi Roro Kidul, yang bernama Raden Ronggo. Dikisahkan anak ini nakal dan memiliki keampuhan yang diwariskan dari ibunya. Salah satu mainannya adalah tiga batu berbentuk bola. Ketiganya sangat berat untuk ukuran manusia, tapi Raden ronggo justru bermain dengan batu ini untuk dilempar-lemparkan. Ia pernah memberitahu pamannya, Ki Juru Mertani (yang oleh Panembahan Senopati diangkat sebagai Patih Mandaraka) untuk tidak berbuat sewenang-wenang. Tapi Raden Ronggo justru melubangi gentong batu milik pamannya.











Selain Watu Gilang dan Watu Gatheng, ada kisah lain terkait dengan sejarah di Kotagede. Peninggalan itu adalah berupa Watu Gentong.

Watu Genthong.

Watu Genthong terbuat dari batu andesit berbentuk seperti gentong padasan dengan diameter 57 cm yang digunakan oleh Ki Juru Mertani dan Ki Ageng Giring, penasehat Panembahan Senopati, untuk mengambil air wudlu. Konon Watu Genthong ini ndak perlu diisi air. Dengan menggunakan kesaktiannya, Ki Juru Mertani dan Ki Ageng Giring hanya memegang dinding batu dan air pun akan muncul dengan sendirinya. Ki Ageng Giring merupakan sahabat dari Ki Ageng Pemanahan. Awalnya yang mendapat wangsit untuk menjadi raja adalah Ki Ageng Giring namun ternyata pada perjalanannya justru Ki Ageng Pemanahan yang naik tahta menjadi raja. Ki Ageng Giring akhirnya bisa menjadi raja pada keturunannya yang ketujuh. Keturunan ketujuh Ki Ageng Giring adalah Pangeran Puger yang kemudian menjadi Pakubuwana I. 

Kompleks situs ini berada di kampung Kedathon yang dipercaya merupakan pusat dari kerajaan Mataram Islam. Sehingga bisa dibilang kalo situs ini adalah pusat dari Kerajaan Mataram Islam.


Selasa, 11 September 2012

SEJARAH SMP MUHAMMADIYAH 7 KOTAGEDE JOGJA

SEJARAH SMP MUHAMMADIYAH 7 KOTAGEDE YOGYAKARTA

KELAHIRAN DAN MASA AWAL 

A. Berdiri Sampai Berakhirnya SMP Muhammadiyah di Bodon dan Tegalgendu 

Kepedulian Muhammadiyah Kotagede terhadap pendidikan diwujudkan dengan keberhasilannya mendirikan sekolah-sekolah tingkat dasar. Sekolah yang sudah didirikan sejak awal berdirinya Muhammadiyah yang berarti sejak jaman Belanda, dapat disebutkan yaitu : Kweekschool Muhammadiyah di Prenggan, Sekolah Rakyat VI (SR VI) Muhammadiyah di Kleco dan SR VI Muhammadiyah di Bodon. 

Kweekschool Muhammadiyah di Prenggan dalam pertumbuhannya menjadi SR VI Muhammadiyah. Pada saat Belanda mengadakan agresi militer II tanggal 21 Juli 1948, sekolah tersebut diratakan dengan tanah sehingga yang ada tinggal SR VI Muhammadiyah Bodon. 

Selaras dengan perkembangan dunia pendidikan di Indonesia, maka nama atau sebutan Sekolah Rakyat VI (SR VI) berubah menjadi Sekolah Dasar (SD). Dengan demikian sekolah Muhammadiyah yang ada di Kotagede adalah SD Muhammadiyah Kleco dan SD Muhammadiyah Bodon. Dalam perkembangannya Muhammadiyah Kotagede juga berhasil mendirikan Sekolah Dasar di Purbayan. 

SMP Muhammadiyah Kotagede (di Bodon) 

Keberhasilan Muhammadiyah Kotagede mengelola pendidikan di tingkat dasar (SD) ditindaklanjuti dengan mendirikan sekolah setingkat sekolah menengah pertama. Dengan penunjukan dari Muhammadiyah Kotagede bagian Pengajaran, pak Juwahir beserta para guru yang pada waktu itu bersedia bekerja bersama secara ikhlas, membuka pendaftaran bagi siswa baru SMP Muhammadiyah. 

Alasan pendirian adalah karena pada waktu itu lulusan SD Muhammadiyah Bodon dan SD Muhammadiyah sekitar Kotagede lainnya, rata-rata melanjutkan ke SMP Muhammadiyah 1 Purwodiningratan atau ke Mualimin/Mualimat yang letaknya jauh dari Kotagede. Maka SMP Muhammadiyah Kotagede waktu itu dianggap sudah tepat waktunya untuk didirikan. 

Bu Wasilah selaku alumni SMP Muhammadiyah Kotagede menuturkan bahwa sekolah tersebut bertempat di Bodon atau Jurang. Letaknya yang pas bila dilihat dari peta saat ini, berada di belakang atau selatan sekolah Mahad Islamy ngglondoran, selatan HS Silver. Disitu yang ada sekarang tinggal pondasi saja. Sekolah masuk siang karena pada pagi harinya digunakan oleh SD Muhammadiyah Bodon. 

Sebagai siswa angkatan pertama, bu Wasilah belajar bersama teman sekelas sejumlah 15 siswa putra dan putri. Keberadaan SMP Muhammadiyah ini tidak berlangsung lama namun sempat meluluskan satu angkatan yaitu angkatannya bu Wasilah tersebut. Ujiannya masih menggabung di Taman Siswa dan sempat pula memperoleh ijasah. 

Tahun pendirian sekolah ini kurang jelas. Penulisan tahun berdasar ingatan pak Mulyono, suami bu Wasilah bahwa di saat Belanda mengadakan Clash, bu Wasilah masih di Mualimat (setahun tidak selesai), kemudian pindah ke SMP Muhammadiyah di Bodon tersebut mulai dari kelas satu lagi. Penyebutan tahun yang paling mungkin adalah tahun l950 sebab sebelum tahun itu kondisi keamanan belum menentu. 

Dengan pernyataan bu Wasilah yang sempat ikut ujian akhir di Taman Siswa, berarti minimal telah bersekolah selama tiga tahun. Bila setelah itu sekolah tutup maka berarti SMP Muhammadiyah di Bodon ini bertahan selama tiga tahun dari tahun l950 sampai tahun 1953. Setelah itu sekolah bubar begitu saja. 

Pak Wilarjo adalah alumni SGB Negeri yang berlokasi di komplek kediaman Pak Harto Suwun Celenan. Beliau kurang setuju bila SMP Muhammadiyah di Bodon tadi disebut tutup atau bubar. Beliau menyaksikan ditempat tersebut papan nama masih ada, siswa masih ada dan guru-gurunya juga masih ada. Hanya sering kosong atau tidak ada pelajaran sehingga waktu jam belajarnya sering digunakan untuk bandem-bandeman dengan murid MTs Mahad Islamy yang terletak di utaranya. SMP Muhammadiyah Kotagede (di Tegalgendu) 

Ditutupnya SMP milik Muhammadiyah Kotagede tersebut menimbulkan tanda tanya bagi masyarakat Kotagede pada umumnya terhadap kemampuan Muhammadiyah Kotagede mengelola pendidikan setingkat SMP. Bagi pengurus Muhammadiyah Kotagede khususnya bagian Pengajaran, ditutupnya SMP Muhammadiyah tersebut merupakan tantangan berat dan menunggu saat yang tepat untuk kembali bangkit mendirikan SMP Muhammadiyah lagi. 

Saat tepat yang ditunggu akhirnya tepat juga saatnya. Waktu itu putra tertua pak Pawiro Suwarno (Pawiro Tembong) yang tinggal di Solo, mewakafkan tanah beserta bangunannya pada Muhammadiyah Kotagede. Tempat tersebut sekarang menjadi masjid Baitul Qohhar Tegalgendu. 

Ketika rumah yang diwakafkan oleh keluarga pak Pawiro Suwarno tersebut direncanakan akan digunakan untuk sekolah maka beliau membantu sepenuhnya. Maka rumah wakaf pak Pawiro Suwarno direhab. Bagian tengah tetap joglo, sedangkan bagian Barat dan Timur diubah menjadi ruang kelas. Selanjutnya bantuan mebeler berupa 120 set meja kursi siswa lengkap. Setelah lengkap barang-barang yang diperlukan bagi terselenggaranya suatu sekolah, maka mulailah dibuka pendaftaran bagi siswa baru. 

Bagian Pengajaran Muhammadiyah Kotagede, pak Marjuni menunjuk pak Djuwahir untuk kembali menjadi kepala sekolah. Menilik dari penunjukan terhadap orang yang sama untuk menjadi kepala sekolah yaitu pak Juwahir nampaknya ada benang merah tak terlihat yang menghubungkan antara SMP Muhammadiyah Kotagede yang berlokasi di Bodon dengan SMP Muhammadiyah Kotagede yang berlokasi di Tegalgendu. 

Urusan administrasi yaitu sebagai TU dipercayakan kepada pak Darwan. Saat itu pak Darwan sudah menjadi petugas sekretariat di bagian pengajaran Muhammadiyah Kotagede. Penunjukannya menjadi TU di SMP Muhammadiyah Kotagede tidak menganggu tugas-tugasnya. Tugas administrasinya di kantor Muhammadiyah Kotagede Bagian Pengajaran maupun sebagai TU di SMP Muhammadiyah dapat dikerjakan secara bersamaan. 

Guru yang menjadi tenaga pengajar sukarela waktu itu diantaranya adalah guru-guru SD Muhammadiyah Bodon dan SD Muhammadiyah Kleco. Sebagian lainnya masih berstatus mahasiswa. Diantara nama-nama guru tersebut diantaranya adalah : 
- Pak Rahmat Suwarno, guru agama SD Muhammadiyah Bodon 
- Pak Riyanto, menantunya Mbah Muhdi 
- Pak Suharno, pernah mengajar Ekonomi di SMA Muhammadiyah 5 Yogyakarta 
- Pak Wacono 
- Pak Danuri, Timur pasar, guru Ilmu Alam 
- Pak Sukarjan, guru bahasa Inggris 
- Pak Bashor, guru bahasa Inggris, Tata Negara dll 
- Pak Mulyono, Mutihan 
- Pak Hadi Warjono, Jagalan, guru Sejarah. 
- Pak Hartoyo, guru SD Kleco, guru Bahasa Inggris 

Pendaftaran bagi siswa baru pertama dibuka pada tahun ajaran 1955/1956. Siswa yang mendaftar cukup banyak karena pada waktu itu SMP Muhammadiyah Kotagede bekerjasama dengan SD Muhammadiyah yang ada di Kotagede. Dari hasil kerja sama tersebut Kepala SD Muhammadiyah se-Kotagede bersedia menghimbau agar siswa-siswa SD Muhammadiyah se-Kotagede melanjutkan sekolah ke SMP Muhammadiyah Kotagede. Saat itu Muhammadiyah Kotagede mengkoordinasi wilayah sampai di Blawong, Pajangan, Pleret, Segoroyoso bahkan sampai di Dlingo. Sehingga siswa-siswa SMP Muhammadiyah Kotagede banyak yang berasal dari daerah tersebut. 

Pada masa awal tersebut SMP Muhammadiyah Kotagede berkembang dengan baik. Pada saat yang sama didirikan pula SGB Muhammadiyah. Jabatan Kepala Sekolah dirangkap oleh pak Juwahir, begitu pula guru-guru SMP Muhammadiyah juga merangkap mengajar di SGB Muhammadiyah. 

Kegiatan pak Juwahir waktu itu dapat didiskripsikan sebagai berikut : Pagi menjelang jam 07.00 Juwahir muda jalan kaki atau terkadang ngepit dengan pit Onta tanpa rem dari Citran ke Barat sungai Gajah Uwong untuk ngopeni SMP dan SGB Muhammadiyah di Tegalgendu. Kring krung, katanya setiba dihalaman sekolah. Tempat tersebut sekarang sudah jadi masjid Baitul Qohhar. Sekitar jam 10.00 kembali ngepit atau terkadang jalan kaki ngetan ke SD Bodon sampai sekolah usai siang harinya. Kira-kira begitulah kegiatan harian seorang guru yang ngguroni, artinya guru yang bahagia bila anak didiknya jadi orang. Barangkali pembaca ada yang tanya jumlah honornya? Nampaknya tak ada pertanyaan, terima kasih. 

Tentang keberadaan SGB Muhammadiyah di Tegalgendu, Bu Siti Warsinah (Bu Legiman), teman sekelas pak Arsjad mengatakan bahwa letak SGB di Tegalgendu, seberang Utara jalan. Pak Darwan mengatakan dengan lebih yakin bahwa SGB Muhammadiyah tempatnya bersebelahan dengan SMP Muhammadiyah. “SMP di sebelah kanan atau sebelah Barat, SGB di sebelah kiri atau sebelah Timur. Kantornya ditengah dan saya ngantor disitu” katanya, sedangkan Kepala Sekolah SGB juga dirangkap oleh Pak Juwahir. Pak Hadjoewad mengatakan bahwa di Celenan terdapat SGB Negeri milik pemerintah. SGB tersebut pindahan dari Imogiri. Sedangkan di Tegalgendu terdapat SGB milik Muhammadiyah. Pak Hadjoewad ingat bahwa waktu itu plang papan sekolahnya berbunyi : SMP – SGB Muhammadiyah Kotagede. 

Masa akhir sampai bubarnya 

Perkembangan jumlah siswa sampai tahun ketiga menunjukkan peningkatan, bahkan siswa yang semula per tingkat hanya satu kelas, pada tahun ketiga memperoleh siswa dengan jumlah paralel 2 kelas. 

Masalah yang justru mengemuka dari awal adalah sebagian besar guru masih mahasiswa dan guru SD. Sedangkan persyaratan dari pemerintah waktu itu untuk Guru SMP minimal harus berijasah BI, kira-kira setingkat SMA plus 1 tahun. Untuk Kepala Sekolah minimal berijasah D3. Persyaratan tersebut sulit dipenuhi, akibatnya SMP Muhammadiyah Kotagede sulit mendapatkan bantuan dari pemerintah. SGB yang didirikan untuk menjadi solusi masalah tersebut justru sudah bubar pada tahun ketiga sebelum mampu mencetak tenaga guru yang diharapkan. 

Ketika tahun ajaran ketiga berakhir dan siswa mengikuti ujian negara, ternyata hasilnya kurang menggembirakan. Rata-rata siswa gagal dalam ujian negara. Begitupun pada tahun berikutnya. Hanya satu siswa yang lulus ujian negara. Itupun karena siswa tersebut pindahan dari sekolah lain dengan hanya 1 tahun di kelas 3, ikut ujian negara dan lulus dengan nilai terbaik. 

Kekurang-berhasilan yang beruntun menyebabkan sekolah mengubah kebijakan. Berdasarkan dugaan minimnya kemampuan siswa yang masuk ke SMP Muhammadiyah Kotagede, maka diterapkan aturan batas minimal nilai rapor bagi siswa SD yang mendaftar ke SMP Muhammadiyah Kotagede. Kebijakan yang semula diharapkan akan meningkatkan kualitas lulusan, ternyata justru membawa ke pintu kehancuran. 

Kepala-kepala SD Muhammadiyah se-Kotagede tidak menyetujui kebijakan tersebut. Dan kemudian tidak menganjurkan lagi pada para siswa lulusannya untuk masuk ke SMP Muhammadiyah Kotagede. Dilema berat dialami oleh SMP Muhammadiyah Kotagede sebab kenyataannya dalam ujian-ujian negara tahun berikutnya, yang lulus hanya 1 siswa, yaitu pak Arsyad AU. 

Kebijakan pembatasan nilai rapor minimal tetap dianjurkan, dan dugaan menjadi kenyataan yaitu tidak ada siswa yang mendaftar karena kebijakan tersebut tidak didukung oleh Kepala-kepala Sekolah Dasar Muhammadiyah se-Kotagede. 

Menurut pak Mulyono yang waktu itu juga merupakan guru SMP Muhammadiyah di Tegalgendu, penyebab bubarnya SMP Muhammadiyah di Tegalgendu karena banyak faktor. Namun faktor dominan justru berasal dari guru. Tahun-tahun tersebut profesi jadi guru sama-sekali tidak menjanjikan sedangkan faktor ekonomi dan politik sangat menggiurkan. Banyak teman guru yang merubah haluan menjadi pengusaha sebab ekonomi di Kotagede saat itu sangat berkembang. Ada pula yang memilih berpolitik bermacam-macam partai seperti Masyumi. Sehingga tugasnya sebagai guru menjadi keteteran bahkan dilalaikan. 

Tahun 1961 dan 1962 adalah tahun-tahun terakhir bagi SMP Muhammadiyah untuk menghabiskan sisa-sisa muridnya tanpa punya adik kelas baru. Akhir tahun ajaran 1962 siswa terakhir dilepas dan pintu sekolah pun ditutup untuk selamanya. 

SMP Muhammadiyah Kotagede yang berlokasi di Bodon bertahan 3 tahun sedangkan di Tegalgendu mampu bertahan sampai 8 tahun. Orang picik akan mencatat kehancurannya namun sejarah mencacat kepeloporannya dengan tinta emas. 

B. Kelahiran dan Dasar-Dasar Pengembangan SMP Muhammadiyah 7 Kotagede 

Sejarah menunjukkan bahwa di Kotagede sudah pernah dua kali didirikan sekolah Menengah Muhammadiyah. Namun 2 kali juga mati atau bubar. Hal tersebut menimbulkan suatu keprihatinan bagi segenap Pengurus Muhammadiyah Kotagede khususnya di bidang pengajaran. Keprihatinan saja tentu tidak cukup. Berangkat dari rasa keprihatinan itulah maka Pak As’ari Anwar sebagai anggota pengurus Muhammadiyah Kotagede bagian Pengajaran suatu hari mengajak berbincang dengan Pak Bakhrun Nawawi mengenai rencana untuk mencoba lagi mendirikan SMP Muhammadiyah. 

Banyak faktor yang dianggap sebagai penyebab bubarnya 2 kali SMP Muhammadiyah Kotagede. Namun faktor yang dianggap paling dominan menurut pengamatan Pak As’ari Anwar adalah masalah manajemen. Maka orang yang dianggap tepat untuk menangani masalah ini adalah Pak Bakhrun Nawawi yang saat itu masih kuliah di fakultas Psikologi UGM. 

Pak Bakhrun tidak mempunyai kemampuan yang cukup di bidang pendidikan. Namun di bidang manajemen dialah orang yang paling tepat. Apabila nanti pelajaran sekolah sudah akan dimulai dan memerlukan guru maka tugas Pak Bakhrun Nawawi-lah untuk mencari guru yang sesuai dengan mata pelajaran yang diperlukan. Dimulai dari pembicaraan informal tersebut maka selanjutnya mulailah dibuka pendaftaran bagi siswa baru SMP Muhammadiyah. Alhamdulillah siswa yang mendaftar pun ada Meskipun tidak banyak tetapi dengan beberapa puluh siswa cukuplah bagi sekolah yang baru belajar berdiri. 

Selanjutnya diundanglah teman-teman seangkatan Pak Bakhrun yang rata-rata masih kuliah untuk mengajar di SMP yang baru tersebut. Tidak ada pengguntingan pita, tidak ada pemukulan gong maupun tepuk tangan meriah sebagai tanda awal berdirinya sekolah SMP Muhammadiyah ini. Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim maka pada tanggal 1 Agustus 1965 pelajaran sekolah dimulai. Dan sekaligus dianggap sebagai awal berdirinya SMP Muhammadiyah di Kotagede. 

Adapun tempat yang digunakan adalah Kompleks Masjid Perak Kotagede yang letaknya di sebelah utara Masjid Perak Prenggan. Bersebelahan dengan SD Muhammadiyah Bodon di sebelah Timur dan SD Muhammadiyah Kleco di sebelah Barat pada lokasi gedung yang sama. Jadi bila sedang pelajaran maka guru dan murid SMP Muhammadiyah yang berada ditengah atau di aula itu ditonton oleh anak-anak kecil, yaitu anak-anak SD Muhammadiyah Bodon dan SD Muhammadiyah Kleco tersebut. Namun untunglah para siswa tidak menjadi malu atau kikuk dan sebagainya walaupun ditonton oleh anak-anak kecil. Hal itu terjadi karena memang jumlah anak yang sekolah di Bodon dan Kleco itu juga tidak terlalu banyak sehingga tidak bising dan tidak terlalu mengganggu. Ruang guru, ruang TU apalagi ruang Kepala Sekolah tentu saja belum ada. Jadi yang digunakan sebagai kantor adalah emperan bagian Timur. Sebagai tempat mampir sebentar sebelum seorang guru mulai mengajar atau akan berangkat atau pulang kuliah. 

Guru yang mengajar pun juga belum banyak. Paling banyak dalam 1 hari datang 1, 2 atau 3 orang guru yang mengajar sampai selesai dan pulang. Masalah honor mengajar belum dibicarakan sama sekali. Sekedar minum atau snack saja pun kalau seorang guru ingin ya silahkan bawa sendiri dari rumah. Jadi pada tahap awal ini seorang guru yang bersedia mengajar itu artinya beliau betul-betul bersedia berjuang untuk kemajuan SMP ini. Suasana serba seadanya namun ternyata sekolah terus berlanjut sampai paling tidak 1 semester dari bulan Agustus sampai bulan Desember l965. Padahal berkaitan dengan keadaan politik sekitar akhir tahun ‘65, dimana terjadi pemberontakan G30/S maka sebetulnya suasana di luar cukup mencekam. Jadi kalau seorang guru bersedia datang untuk mengajar dan seorang murid bersedia datang untuk belajar maka hal tersebut sudah merupakan suatu hal yang luar biasa. Artinya mereka memang punya niat betul sekolah. 

Pindah ke Mushola Aisyiah 

Suatu hari seorang guru datang ke Kompleks Masjid Perak untuk mengajar. Ternyata di aula dimana biasanya siswa SMP belajar dipenuhi anak-anak SD Bodon dan Kleco, “ Lho, di mana anak-anak ini ? ” Setelah tanya pada beberapa siswa SD yang ada di situ, barulah pak guru itu tahu bahwa ternyata anak-anak SMP itu sudah pindah. Pindah ke mana ? Ternyata pindah ke Musholla ‘Aisyiah yang terletak di Keboan sebelah Utara Kantor Pos atau Pasar Kotagede itu. Kenapa atau apa sebabnya harus pindah ke mushola, pak guru tadi tidak tahu. Tetapi yang jelas setelah hari itu dan untuk selanjutnya kira-kira mulai akhir Pebruari atau awal Maret itu sekolah SMP Muhammadiyah dilanjutkan di Musholla ‘Aisyiah. Tepatnya di gedung selatan musholla, di bawah pohon jambu air. 

Sementara itu di bangunan sebelah timur mushola, ada juga sekolah yang lain yaitu SKP atau Sekolah Kepandaian Putri Aisyiah. Kondisi SKP Aisyiah pun waktu itu cukup memprihatinkan Diantaranya karena kekurangan guru dan sebagainya. Sehingga kemudian diantara guru-guru SMP Muhammadiyah juga ada yang nyambi membantu mengajar di SKP Aisyiah Sedangkan SMP Muhammadiyah yang semula menempati Kompleks Masjid Perak dan sudah dipergikan dari sana kemudian menempati Mushola Aisyiah. Pelajaran tetap berlanjut walaupun dengan kondisi seadanya. 

Suasana pembelajaran sangat memprihatinkan. Meja, kursi, papan tulis dan perabot lainnya serba seadanya. Namun hal tersebut semakin meningkatkan motivasi siswa maupun guru untuk membuktikan bahwa sekolah ini tidak akan bubar begitu saja seperti kakak-kakaknya SMP Muhammadiyah yang terdahulu. Semua merasa tertantang untuk membuktikan bahwa sekolah ini bisa terus berlanjut. Andai saja sekolah ini bubar maka apa kata orang. “Muhammadiyah Kotagede tidak mampu mendirikan sekolah setingkat SMP”. 

Lain halnya dengan SKP Aisyiah. Ibarat seseorang yang menderita sakit barangkali sudah mengalami komplikasi dari berbagai penyakit sehingga sulit untuk diselamatkan lagi. Sampai akhirnya pada suatu hari yang buram, diiringi bergugurannya daun jambu air kering, SKP Aisyiah ini menemui ajalnya. Bubar! Agar perjalanan arwahnya ke alam baka tidak menemui banyak hambatan maka pengurus Aisyiah Kotagede berniat untuk menyelesaikan masalah dunia yang bertautan dengan SKP Aisyiah termasuk hutang piutang. Diantaranya adalah yang dialami Pak Suhir (H. Suhirman). Suatu hari beliau didatangi pengurus Aisyiah dan beliau diberi uang Rp. 1.000,- sebagai honornya selama beliau membantu mengajar di SKP Aisyiah. Pak Suhir mengucapkan terima kasih. Mari bersama kita doakan agar SKP Aisyiah mendapatkan khusnul khotimah. Amin. 

Murid-murid SMP Muhammadiyah yang saat itu menempati gedung musholla Aisyiah sudah mendengar cerita tentang 2 kakaknya yaitu SMP Muhammadiyah di Tegalgendu yang sudah meninggal, layu sebelum berkembang. Dan kini didepan matanya mereka harus menyaksikan kematian SKP Aisyiah yang masih merupakan saudara dekatnya. Dalam hati mereka juga sempat bertanya “ Akankah kami, SMP Muhammadiyah Kotagede ini, mampu bertahan” 

Kembali ke Komplek Masjid Perak Kotagede

Pada saat itu warga masyarakat Kotagede pada umumnya belum yakin bahwa Muhammadiyah Kotagede mampu mendirikan sebuah sekolah setingkat SMP. Hal tersebut tidak perlu dijawab dengan kata-kata melainkan dengan perbuatan. Pak Asy’ari Anwar yang saat itu dipercaya menjabat sebagai Ketua bagian Pengajaran Muhammadiyah Kotagede menggantikan Drs Supardi yang mengundurkan diri, memboyong kembali SMP Muhammadiyah yang menempati Musholla Aisyiah untuk kembali ke komplek masjid Perak. 

Bangunan gedung komplek masjid Perak merupakan tanah wakaf dari Ibu Siti Sholikhah Atmo Sudigdo yang tanah maupun pembangunan gedungnya dibiayai oleh beliau dan kemudian diserahkan kepada Muhammadiyah Kotagede untuk kepentingan masyarakat khususnya untuk pendidikan. Jadi kalau Muhammadiyah menggunakannya untuk gedung sekolah Muhammadiyah maka hal tersebut sudah tepat. Dan Insya Allah akan menjadikan pahala yang berlipat ganda bagi Ibu Siti Sholikhah Atmo Sudigdo beserta keluarganya. 

Dengan alasan tersebut maka Pak Asy’ari Anwar menempatkan kembali SMP Muhammadiyah di komplek masjid Perak bersebelahan dengan SD Muhammadiyah Bodon dan SD Muhammadiyah Kleco. SMP Muhammadiyah memang pernah menempati Musholla Aisyiah. Namun hal tersebut tidak lama. Mulai sekitar akhir Februari atau awal Maret l966 selama sekitar 6 bulan kedepannya 

Pada tahun kedua nampaknya masyarakat Kotagede sudah mulai memberikan kepercayaan terhadap SMP Muhammadiyah. Hal ini terbukti dari semakin banyaknya siswa yang mendaftar. Memang jumlahnya tidak terlalu banyak, sekitar dua puluhan. Namun hal itu wajar karena memang pada saat itu jumlah anak usia sekolah belum banyak. Di Kotagede dan sekitarnya jumlah anak usia sekolah seluruhnya tidak mencapai lima puluhan. Dari jumlah tersebut yang punya niat sekolah paling juga hanya sekian persennya saja. Jadi kalau misalnya SMP Muhammadiyah mendapat siswa sekitar duapuluhan maka hal tersebut sudah merupakan prestasi khusus. 

Bapak Bakhrun Nawawi yang sejak berdirinya SMP Muhammadiyah yaitu tanggal l Agustus l965, pada bulan September l966 terpaksa meninggalkan sekolah yang masih balita ini karena hendak meneruskan kuliahnya di Australia. Namun tidak perlu terlalu dikhawatirkan karena pada saat itu, hambatan masih ada, namun keberlangsungan sekolah Insya Allah bisa terus berlanjut. 

Sebelum berangkat ke negeri kangguru Pak Bakhrun menggambarkan bahwa sejak SMP Muhammadiyah come back ke kompleks masjid Perak, para guru semakin bersemangat dalam mengajar. Sementara para siswa pun sangat antusias untuk mengikuti pelajaran. Mereka yakin bahwa mereka akan mampu belajar dengan baik sampai selesai dan kemudian melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. 

Berbeda dengan pendapat diatas, Prawoto sebagai siswa yang lulus angkatan pertama mengatakan, “Kalau ada guru yang bersemangat dalam mengajar, betul juga tetapi tidak semua. Ada guru yang sepertinya kurang berminat dan menomorduakan mengajarnya. Namun hal itu maklum karena beliau masih kuliah. Guru yang galak juga ada. Malah ada murid yang pernah dilempar penghapus oleh pak siapa itu, yang mengajar Ilmu Bumi. Tapi beliau baik, disiplin dan nampaknya itu juga untuk kepentingan para siswa.” 

Sebagai siswa pertama saya dan teman-teman pernah sempat mau pindah sekolah. Entah karena apa, sekolah kok ming koyo dolan. Mungkin karena muridnya hanya sedikit atau karena ada sebagian guru yang kurang sungguh-sungguh dalam mengajar karena mereka juga masih kuliah. Waktu itu kami berombongan berusaha pindah ke sekolah Muhammadiyah yang ada di Pugeran, Mangkulayan, Warungboto, Karangkajen. Ternyata semua sekolah Muhammadiyah itu tidak ada yang mau menerima kami sehingga akhirnya kami kembali ke SMP Muhammadiyah Kotagede dan diterima kembali. Jadi kami sekolah lagi waktu itu. 

Soal honor guru-gurunya waktu itu nampaknya juga perjuangan. Soalnya mau dapat honor dari mana wong saya sendiri juga ibaratnya sekolah nggak pernah bayar. Kalau gurunya mau dibayar, mau dibayar pakai apa, muridnya saja pada tidak bayar. Selama tiga tahun itu boleh dikata saya hampir tidak pernah membayar, bahkan kadang-kadang saya diparingi buku oleh pak guru. Jadi saya mengucapkan terimakasih betul. 

“Sebagai wakil dari teman sembilan orang siswa yang lulus angkatan pertama, saya merasa ikut bersyukur, ikut senang, bangga dan bahagia karena ternyata SMP Muhammadiyah 7 sekarang sudah semakin bagus dan makin meningkat”. Selanjutnya kalau SMP Muhammadiyah 7 perlu bantuan apa-apa silakan datang saja ke tempat saya. Mit ya, yang terakhir tadi tambahan dari redaksi. 

Sayup-sayup Sampai 

Sejak berdirinya SMP Muhammadiyah Kotagede mempunyai status : Terdengar. Sampai Pak Bakhrun Nawawi belajar ke Australia September 1966 statusnya pun masih terdengar. Ketika digantikan oleh Pak Muhammad Salman Ja’far tahun 1966 statusnya tetap tedengar sayup-sayup sampai. Namun begitu perkembangannnya cukup meyakinkan yang ditandai dengan jumlah murid yang semakin meningkat. Kelas satu mulai ada satu kelas, kelas dua juga satu kelas, kelas tiga juga ada satu kelas. 

Menginjak akhir tahun ajaran 1968 kelas tiga memerlukan ujian untuk menentukan kelulusannya. Oleh karena itu maka perlu adanya status yang resmi dari sekolah agar para siswa bisa mengikuti ujian sekolah maupun ujian negara. Maka kemudian dibuatlah surat permohonan untuk mendapatkan status sekolah tersebut. Nampaknya tidak terlalu sulit untuk urusan status ini. Pada tanggal 8 April 1968, terbit surat pengesahan SMP yang pertama dengan status : Sekolah Swasta yang sah yaitu dengan Nomor : 420/A/A.21/SDSMP/68 dari Kepala Inspeksi Daerah SMP pada Kantor Dirjen Dikdas DIY. Mulai saat itu SMP Muhammadiyah Kotagede ditetapkan sebagai sekolah swasta yang sah artinya para siswanya boleh mengikuti ujian walaupun dalam pelaksanaan ujiannya harus menggabung pada sekolah lain yang terdekat yaitu SMP Negeri 9 Yogyakarta. 

Di samping status tersebut di atas di dalam kalangan Muhammadiyah Kodya Yogyakarta kedudukan SMP Muhammadiyah Kotagede pada tahun itu juga semakin mantap yaitu masuk dalam barisan SMP Muhammadiyah di Kotamadya Yogyakarta dengan nomor urut 7, sehingga mulai tahun 1968 nama SMP Muhammadiyah Kotagede dikenal dengan nama SMP Muhammadiyah 7 Kotagede Yogyakarta. 

Pada akhir tahun 1968 atau tepatnya Agustus 1968 Pak Muhammad Salman Ja’far tidak dapat melanjutkan tugasnya sebagai Kepala Sekolah karena pada waktu itu beliau ditugaskan oleh pemerintah menjadi guru di pulau paling pedes di Indonesia yaitu pulau Lombok. Pada waktu beliau tinggalkan keadaan sekolah sudah semakin membaik. Masyarakat sudah semakin percaya kepada sekolah sehingga jumlah siswa sudah lumayan banyak. 

Untuk mengisi kekosongan jabatan Kepala sekolah yang ditinggalkan oleh Bapak Muhammad Salman Ja’far maka diadakan rapat dewan guru. Dalam rapat tersebut terjadi saling iren siapa yang bersedia menjadi kepala sekolah. Memang pada saat itu menjadi kepala sekolah amatlah berat. Wis ora ono apa-apane nek ono salahe, paling duluan disalahke. Akhirnya setelah dialem dikatakan sebagai guru yang paling pantas untuk menjadi kepala sekolah karena punya ijazah sekolah guru maka akhirnya Pak Kohari berhasil diplekotho menjadi kepala sekolah. Setelah yakin beliau bersedia menjadi kepala sekolah maka usulan pun diproses. 

Dari Pimpinan Muhammadiyah Cabang Kotagede usulan dikirim ke Majlis dan kemudian ditukar dengan SK Kepala Sekolah dari Majlis Pendidikan Muhammadiyah Yogyakarta. Mulai tahun 1968 Pak Kohari resmi menjadi Kepala Sekolah SMP Muhammadiyah 7 Kotagede. 

Menyadari bahwa dirinya setengahnya rada diakali waktu proses pencalonan dirinya menjadi Kepala Sekolah maka beliau juga mempunyai akal yang lebih jitu. Beliau tidak mau menanggung atau tidak mau bertanggung jawab sendirian terhadap kemajuan sekolah. Tanggung jawab itu akan menjadi lebih ringan kalau ditanggung bareng-bareng. Maka beliau punya inisiatif membentuk suatu tim yang dinamakan Tim-9. Terdiri dari sembilan orang yang merupakan motor penggerak keberlangsungan SMP Muhammadiyah 7 ini. 

Tim-9 terdiri dari sembilan orang yaitu : Pak Kohari sebagai Kepala Sekolah, Pak Sugeng Suparto sebagai Wakil Kepala Sekolah, Pak Suhirman Bendahara, Pak Hadjoewad, Pak Kamali, Pak Arsjad AU, Pak Rahmadi, Pak Dahrowi dan Pak Wahzary yang waktu itu sebagai guru juga merangkap sebagai sebagai Tata Usaha. Tim-9 inilah yang nantinya sering disebut Pengurus Sekolah. Dalam tim-9 inilah segala sesuatu permasalahan sekolah diputuskan bersama. Bila sekolah membuat keputusan bukan lagi keputusan kepala sekolah tapi keputusan sekolah. Dengan demikian semua yang terjadi akibat dari suatu keputusan merupakan tanggung jawab sekolah. Pinter to Pak Kohari. Salah satu ciri khas dari tim-9 adalah kalau rapat supaya tidak mengganggu proses belajar mengajar, maka dilakukan malam hari mulai setelah Isya sampai tengah malam. 

Sebagai motor penggerak, maka sebetulnya tim sembilan ini juga tidak punya hak khusus termasuk fasilitas, finansial dan sebagainya. Semua memang masih berstatus guru tidak tetap, jadi ya rekoso ditanggung bareng. Maka justru bersembilan orang inilah yang lebih ngrekoso, dibandingkan dengan teman-teman guru pada waktu itu yang jumlahnya sudah banyak. 

Ketika jumlah murid bertambah banyak maka uang SPP pun secara perlahan atau sedikit demi sedikit dinaikkan. Namun begitu tetap masih belum cukup untuk menggaji para guru. Artinya pengorbanan para guru masih jauh lebih besar dibandingkan dengan HR yang diterimanya. 

Dalam keadaan seperti itu maka tim-9 inilah yang berada paling depan menghadapi masalah-masalah berat yang dihadapi sekolah. Salah satu kegiatan yang besar dan berat ialah pada akhir tahun ajaran 1968 adalah menyelenggarakan ujian akhir bagi siswa kelas 3. Waktu itu siswa kelas 3 yang siap menghadapi ujian masih tersisa sembilan siswa. Agar kesembilan siswa ini nanti bisa lulus dengan nilai yang baik, maka kemudian dilaksanakan berbagai cara yaitu meningkatkan pengajaran dengan sebaik-baiknya, mengadakan les dan yang cukup berani adalah mengasramakan mereka di sekolah selama seminggu. Hal ini dilakukan dengan harapan mereka bisa lebih konsentrasi dan lebih siap untuk belajar menghadapi ujian. 

Pada waktu ujian itu ada 2 macam yaitu Ujian Sekolah dan Ujian Negara. Dalam ujian sekolah maupun ujian negara Alhamdulillah sembilan siswa lulus semua. Nilai ujian negara justru lebih tinggi dibandingkan dengan nilai ujian sekolah. Hal ini berarti ujian sekolah yang diselenggarakan para guru itu malah ternyata lebih sulit soalnya. Sedangkan soal-soal ujian negara yang waktu itu dalam pelaksanaannya SMP Muhammadiyah 7 masih nggabung dengan SMP Negeri 9 berarti oleh para siswa soal-soalnya dirasa lebih mudah sehingga nilainya lebih baik. 

Pada waktu pengumuman kelulusan, Pak Kohari dengan mantap mengumumkan bahwa murid-murid SMP Muhammadiyah 7 lulus 100 % dalam ujian sekolah maupun ujian negara. Hal tersebut merupakan suatu prestasi khusus yang membuat masyarakat Kotagede dan sekitarnya semakin percaya terhadap SMP Muhammadiyah 7 Kotagede. 

Salah satu upaya sekolah untuk menunjukkan keberadaan sekolah misalnya mengadakan lustrum pertama pada tahun l970. Karena tontonan belum banyak maka sambutan masyarakat pun cukup antusias. Kegiatan yang digelar yaitu pertandingan sepakbola, pasar murah dan pameran, semua dipadati pengunjung. Pada tahun 1974 Pak Kohari mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Kepala Sekolah, karena beliau mendapatkan SK tugas dari pemerintah untuk menjadi guru di Pegunungan Seribu. Beliau masih bersedia mengajar walaupun sebagai guru yang nyambi artinya sebagian besar harinya di Gunung Kidul dan satu atau dua hari sisanya digunakan untuk mengajar di SMP Muhammadiyah 7. 

Dari Berbantuan ke Bersubsidi 

Pada masa akhir jabatannya inilah sekolah mengusulkan dan akhirnya di acc menjadi sekolah dengan status sekolah swasta Berbantuan. Adapun besarnya bantuan finansial dari pemerintah berupa sejumlah uang untuk tiap siswa yang dikalikan jumlah siswa yang ada. Uang tersebut oleh sekolah digunakan sebagai tombok biaya operasional sekolah. 

Pada tahun 1975 untuk pertama kalinya ada tenaga khusus yang menangani bidang tata usaha yaitu Bapak Syam Wakhid. Beliau dibantu oleh Pak Soemardjo tetapi hanya sekitar satu tahun terus mengundurkan diri. Pak Syam Wakhid mulai bribik-bribik untuk memperbaiki, merapikan dan melengkapi administrasi sekolah. 

Pada tahun l975 itu juga kembali digelar lustrum yang ke-2. Untuk urusan transportasi waktu itu masih jarang orang punya mobil. Maka sekolah meminjam mobil KP3Y dengan kontrak kegiatan sampai lustrum selesai. Kegiatan lustrum bermacam-macam, ada layar tancep, pameran, bazar dan lain-lain, pokoknya meriah eui!! 

Mengenai status sekolah sebetulnya ada suatu kesempatan untuk meningkatkan status dari sekolah swasta Berbantuan menuju ke status Bersubsidi. Tetapi nampaknya sulit. Banyak yang harus dikerjakan. Tidak bisa dikerjakan sendiri. Maka kemudian semua guru termasuk tata usaha, tim-9 dan semua warga sekolah bahu-membahu untuk membereskan kelengkapan yang harus dipersiapkan untuk mencapai status sekolah Bersubsidi. 

Untuk urusan ekstern maka tokoh yang pada waktu itu sangat berperan adalah Bapak Jumeri Martokusumo dari Joyopranan itu. Beliau dulu pernah bekerja di Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Yogyakarta sehingga beliau bisa banyak membantu dan tahu caranya untuk mengurus masalah tersebut. Beliau punya trik-trik khusus yang bisa mengakrabkan atau mendekatkan dengan seseorang. Misalnya begini, sekolah mengundang pejabat dari Dinas P & K. Ketika tamu tersebut datang, Pak Jumeri masuk ke ruang tamu dan beliau pura-pura tidak tahu, “Lho, ada tamu to ini ?” Padahal sebetulnya tamu tersebut memang sudah diundang. Sehingga dengan demikian seolah-olah lawan bicara pun membatin, ketoke wong iki wis biasa ngadepi pejabat. Maka suasana jadi akrab dan urusanpun jadi lancar. 

Begitu pula waktu ke Jakarta membawa usulan menuju status Bersubsidi tersebut. Setelah sampai di Jakarta kemudian masuk ke Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Begitu masuk ruangan, dengan suara yang sengaja dikeraskan beliau berkata, “ Lho, sekarang gambarnya sudah diganti to ? Dulu gambar ini belum ada” Jadi seolah-olah dulunya beliau pernah ngantor di situ. Sehingga pegawai yang ada di situ merasa terkesan dan pada membatin, “Wah, wong iki berarti wong lawas. Mbiyen tau neng kene suwe.” Padahal Pak Jumeri sendiri barangkali juga belum pernah ke situ. Inilah beberapa trik yang waktu itu cukup jitu, sehingga akhirnya status Bersubsidi bisa lebih cepat dicapai. Tentu saja juga dengan suatu kerja keras dari seluruh warga SMP Muhammadiyah 7. 

Akhirnya status Bersubsidi didapat dengan terbitnya Surat Keputusan Menteri P& K RI Tanggal 26 April 1976 Nomor 91714/D/1/76 status ini terhitung mulai 1 Januari 1976. Saat itu jabatan kepala sekolah sudah digantikan oleh Bapak Suhaib Anwar Yusuf, BA. 

Awal Mula Lokasi Tanah Jeron Boto Purbayan Kotagede

Kejadian tersebut terjadi pada tahun l975. Ketika itu Pak Siswanto mengatakan pada Pak Wahzary bahwa famili istrinya yaitu keluarga Pak Kridhoharsoyo pemilik tanah Jeron Boto Purbayan menanyakan tentang kemungkinan untuk mewakafkan tanahnya di Purbayan tersebut. Pak Wahzary berjanji akan menyampaikan hal tersebut pada Pak Asyari, ketua Muhammadiyah bagian Pengajaran. 

Pak Asyari cukup tanggap dengan keinginan wakaf tanah dari keluarga Kridhoharsoyo tersebut. “Wah, nek kuwi wong sugih tenan” katanya. Tanah yang akan diwakafkan tersebut luasnya 2.700 m2. Pemiliknya adalah atas nama adiknya (Bp Drs. Kusnaeni) yang tinggalnya di Jakarta. 

Pak Asyari segera merembuk hal tersebut dan dalam waktu singkat terlaksanalah keinginan dari keluarga Pak Kridhoharsoyo tersebut. Pada tanggal l Juli l98l ditandatangani perjanjian hak pakai tanah di Purbayan antara PCM Kotagede dengan pemilik tanah (Drs. Kusnaeni di Jakarta) di depan / di hadapan Notaris Daliso Rudianto SH. 

Dalam perjanjian tersebut dinyatakan bahwa pemberian hak pakai itu tanpa batas waktu artinya selama PCM Kotagede masih memerlukan tanah tersebut maka hak pakai tanah tersebut tetap berlaku. 

Pada saat itu PCM Muhammadiyah bagian Pengajaran membuat kebijakan yaitu memdirikan sekolah SMA Muhammadiyah 4. Adapun tempatnya menggunakan bangunan sebelah selatan Masjid Perak Kotagede. Guru dan karyawan SMP Muhammadiyah 7 berpartisipasi menjadi panitia persiapan pendaftaran siswa baru yang pertama pada akhir tahun 1977 dan pendaftaran dimulai awal tahun 1978 yang selanjutnya menjadi tahun pertama berdirinya SMA Muhammadiyah 4 Kotagede. 

Sejalan dengan perkembangan jumlah siswa SMP Muhammadiyah 7, begitu pula dengan SMA Muhammadiyah 4 mulai berdiri serta telah dibangunnya gedung sekolah baru (5 ruangan) di Selatan Masjid Perak, maka PCM Kotagede membuat ketetapan tentang penggunaan gedung sekolah milik Muhammadiyah Kotagede sebagai berikut : 
  1. SD Muhammadiyah Kleco dan SD Muhammadiyah Bodon yang dulu menempati sebagian gedung Komplek Masjid Perak (yang ada di sebelah Utara Masjid Perak) dikembalikan ke pusat sekolah masing-masing. 
  2. Gedung Komplek Masjid Perak baik yang terdapat di sebelah Utara maupun Selatan Masjid Perak, digunakan untuk SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta. 
  3. SMP Muhammadiyah 7 Yogyakarta yang selama ini berada di Komplek masjid Perak, akan menempati lokasi baru yaitu di Komplek Purbayan. 

Pindah ke Purbayan Kotagede

Kepindahan ke Purbayan akan dilaksanakan secara bertahap apabila lokasi di Jeron Boto sudah siap ditempati. Dan pembangunan di komplek Jeron Boto dimulai secara bertahap. 

Mula-mula dibangun 5 ruang kelas. Ketika pembangunan dimulai pada tanggal l0 Januari l981, Pangeran Mangkubumi (sekarang menjadi Sultan Hamengkubuwono X) berkenan meletakkan batu pertama pembangunan tahap awal tersebut. Biaya pembangunan 5 ruang tersebut seluruhnya ditanggung oleh keluarga Kridhoharsoyo. 

Mulai 24 Oktober l984 secara bertahap SMP Muhammadiyah 7 menempati lokasi di Purbayan. Dimulai dengan 3 rombongan belajar kelas II A, B, C yang semua masuk siang di Komplek Masjid Perak, mulai masuk pagi dengan menempati bagian Selatan unit Gedung Kridhoharsoyo Purbayan. 

Pada tahun 1990 SMP Muhammadiyah 7 Yogyakarta mendapat bantuan dana dari Pak Azis keluarga Bapak Haji Mashudi sebesar = Rp 80.000.000.00 (delapan puluh juta rupiah). Dengan dana tersebut tanah hak pakai abadi di Purbayan berhasil dibangun 4 ruang kelas, 1 (satu) rumah untuk tempat tinggal pesuruh / penunggu / penjaga sekolah dan kerangka bangunan tingkat untuk 4 ruang kelas (bangunan baru sampai dak). 

Pembangunan tahun-tahun selanjutnya menggunakan dana dari sekolah dan bantuan dari pemerintah serta masyarakat. Mulai tahun ajaran l994/l995 seluruh kegiatan KBM SMP Muhammadiyah 7 pindah di lokasi Purbayan. 

Memasuki tahun 2000 SMP Muhammadiyah 7 Kotagede telah memiliki 17 buah ruang kelas, Laboratorium IPA, Laboratorium Komputer, Ruang Bimbingan dan Konseling, Ruang Perpustakaan dan Ruang Serba Guna. 

Pada tahun 2004 SMP Muhammadiyah 7 Yogyakarta memperluas sekolah dengan membeli tanah didekatnya seluas 800 m2. 

Dari mana SMP Muhammadiyah 7 mampu membeli tanah seluas itu ? Padahal waktu itu pemilik tanah menawarkan tanah dengan harga tigaratus ribu rupiah per meter. Alkhamdulillah ada warga Muhammadiyah Kotagede yang tinggal di Jakarta berkenan meminjami dana untuk pembelian tanah tersebut. Apalagi tanpa bunga dan dengan jangka waktu yang lama. Jazakumullahu Khoiron Katsiro. 




Saat ini dalam proses pengembangan luas tanah di sebelah Selatannya lagi seluas kurang lebih 1.736 m2. Infak panjenengan sedoyo untuk pembelian tanah tersebut sangat kami harapkan !

Sumber:
http://smpm7-jogja.sch.id
http://smpmuh7yk.wordpress.com

Senin, 10 September 2012

Pekan Wisata Budaya Kotagede 2012



Pekan Wisata Budaya Kotagede 2012 (7-9 September 2012)

Rangkaian Acara :

7 September | 16.00 WIB Arak-arakan Alegoris BEDHOL KEPRAJAN (start Lapangan Karang Finish Kompleks Watu Gilang)

7 September | Mulai 17.00 WIB Pentas Seni di Pendopo ex Tuta & Pendopo Kajengan

8 September | 10.00- 24.00 WIB Pentas Seni di Pendopo ex Tuta, Pendopo Bumen dan Pendopo Kajengan

8 & 9 September | 20.00 WIB Wayang Kulit di Lapangan Karang dan Pendopo ex Tuta

7 - 9 September | 10.00 - 21.00 WIB Pameran Potensi Kotagede di Halaman Pendopo ex Tuta

7 - 9 September | 10.00 - 21.00 WIB Bazaar Kerajinan dan Kuliner di Halaman Pendopo ex Tuta




http://www.kotagedeheritage.org

Minggu, 09 September 2012

Sejarah SD Muhammadiyah Bodon Kotagede Jogja

Kotagede memiliki fasilitas pendidikan yang dapat dikatakan sangat memadai untuk pembelajaran bagi anak-anak maupun para remaja. Salah satu tempat pendidikan yang juga sangat terkenal di kalangan para akademisi adalah SD Muhammadiyah Bodon. Sekolah dasar ini terkenal karena memiliki kualitas yang betul-betul diperhatikan dalam mendidik murid-muridnya, walaupun sekolah-sekolah lain juga menerapkan standar kualitas mereka sendiri, namun SD Muhammadiyah Bodon memiliki keunikan tersendiri dalam mendidik murid-muridnya dalam hal aturan dan kedisplinan. Bahkan sampai sekarang pun lulusan dari sekolah dasar Bodon ini sudah tersebar di seluruh penjuru tanah air, mereka acap kali menceritakan tentang bagaimana para guru sekolah mendidik mereka dengan penuh kedisiplinan pada waktu itu, sehingga menimbulkan suatu memori suka cita bagi para almamater di sekolah ini. 

SD Muhammadiyah Bodon sejatinya terletak di luar kawasan Kota Jogjakarta, SD ini masuk dalam area wilayah Bantul, namun karena daerah ini sudah masuk garis khayal batas wilayah Kotagede, maka wilayah SD Muhammadiyah Bodon ini sudah dianggap wilayah Kotagede sendiri.

SEJARAH SINGKAT BERDIRINYA

Sekolah Dasar Muhammadiyah Bodon didirikan pada Bulan Mei 1924. Pada awal berdirinya, menempati rumah milik KH. Masyhudi, pendiri GROEP MUHAMMADIYAH Kotagede tahun 1916. Sekarang bernama Cabang Muhammadiyah Kotagede Kodya Yogyakarta. Sebelum bernama SEKOLAH DASAR MUHAMMADIYAH, namanya:
  1. HIS (Holand Indie School) atau Sekolah Bumi Putera 
  2. Sekolah Rakyat Sempoerna-Jaman Jepang 
  3. Sekolah Rakyat/SR 6 Tahun Jaman Kemerdekaan 
  4. Sekolah dasar/SD, mulai tahun 1960 (memperoleh subsidi Pemerintah 1951). 

Sekolah Dasar Muhammadiyah Bodon sebelum menempati gedung permanen (yang sekarang dapat kita lihat) mengalami 6 kali perpindahan lokasi yaitu meliputi: 
  1. Rumah KH. Masyhudi Balokan Trunojayan (Wetan Kanthil) 
  2. Rumah Bapak Achjar, Citran 
  3. Rumah Bapak R. Mandoyo, Kudusan 
  4. Pendopo Jurang Bodon (Mbah Diro) 
  5. Komplek Masjid Perak (sekarang dipakai SMP Muh. VII) 
  6. Bodon Jagalan banguntapan, menetap (dan sebagian masih menumpang di Pendopo milik H. Anwar Sodiq dan bapak H. Supardi Atmosudigdo, Celenan) 
  7. Bodon Jagalan Banguntapan (menetap dengan tanah hak milik sendiri) 




Pada tahun 1957 Pimpinan Cabang Muhammadiyah Kotagede periode Pimpinan Bapak H. Human Siraj membeli rumah milik Bapak RW Projosutrisno diatas tanah seluas 200 m dengan harga Rp 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) atas nama Bapak KH. Duri WSD Kudusan untuk Sekolah Dasar Muhammadiyah Bodon yang sekarang menjadi gedung induk. Namun gedung ini belum dapat menampung jumlah murid atau ruang kelas yang dibutuhkan oleh SD, sehingga kelas III dan IV meminjam tempat pendopo milik H. Anwar Sodiq (sebelah Timur Mahad Islamy). Untuk kelas I dan II menempati di pendopo Bapak H. Sapardi Atmosudigdo. Celenan/ jarak kurang lebih 400 m dari gedung induk ini (arah ke Timur). 

Kemudian atas kemurahan dan keikhlasan Bapak Mulyo Prawito pada tahun 1978 dibuatkan Gedung/ruang kelas sebanyak 4 lokal di Komplek Masjid Al-Amin Bodon diatas tanah miliknya, untuk memudahkan kelas III dab IV yang masih menempati di Pendopo H. Anwar Sodiq. 

Pada Tahun 1988 atas Prakarsa para alumnus HIS/SR/SD Muhammadiyah Bodon, yang diketuai oleh dr. Yanto, para alumni dapat menyumbangkan kepada almamaternya serta dibantu para dermawan dan BP3 membuat lokal Gedung dengan ukuran 8x16 meter, beserta tempat sepeda untuk guru dan murid. Dibangun dalam waktu 3 bulan dan menelan biaya sebesar Rp 7.941.600,- di komplek Masjid Al-Amin Bodon berdekatan dengan gedung/lokal yang dibuatkan Bapak Mulyo Prawito. Gedung ini dimaksudkan untuk memindahkan murid kelas I dan II yang masih menempati di Pendopo milik Bapak H. Sapardi Atmosudigdo. Sejak 17 Juli 1988 SD Muhammadiyah Bodon hanya 2 komplek, satu di Gedung Induk dan satu lagi di komplek Masjid Al-Amin Bodon. 

Periodisasi Pimpinan Sekolah: 
  1. Bapak Soemindo, Jaman Belanda 
  2. Bapak R. Sastrowahono, Jaman Belanda/Jepang 
  3. Bapak Dawam Marzuki, Jaman Jepang 
  4. Bapak R. Djoemairi Martokusuma, Jaman Jepang/Kemerdekaan 
  5. Bapak Sudjadi Brotosiswoyo, Jaman Kemerdekaan 
  6. Bapak Mardisiswoyo 1949 - 1963 
  7. Bapak Sumadji 1963 - 1964 
  8. Bapak Djamzuri 1964 - 1988 
  9. Bapak Wilardjo, SH 1988 - 2001 10. Bapak Drs. H. Sukemi Tirta, M.Pd 2002 - sekarang 

Dalam perjalanannya SD Muhammadiyah Bodon mulai tahun 1990, masuk Pimpinan Cabang Muhammadiyah Banguntapan Daerah Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Selasa, 04 September 2012

SMP NEGERI 9 YOGYAKARTA

Pada Tahun 1957, POMG SMP Negeri 4 Yogyakarta hasil musyawarah di Balai Harsono Kepatihan, menjalin komunikasi dengan Pemerintah Kota Madya Yogyakarta dan dengan Pemerintah Propinsi DIY untuk meminta bantuan tanah guna pembangunan gedung filial SMP Negeri 4 Yogyakarta. Prioritas lokasi yang dicari adalah daerah di pinggiran kota, dengan pertimbangan bahwa sekolah-sekolah negeri, khususnya SMP yang telah ada ketika itu, umumnya berada di dalam kota.

Respon Pemerintah Daerah ternyata cukup baik dan menawarkan beberapa alternatif yang dapat dijadikan lokasi pembangunan gedung sekolah filial SMP Negeri 4 Yogyakarta. Setelah melalui berbagai pertimbangan, akhirnya disepakati untuk memilih tanah bekas Stasiun Basen di Tinalan Kotagede. Kesepakatan ini ditindaklanjuti dengan penandatanganan surat perjanjian hak penggunaan atas tanah yang disepakati antara POMG SMP Negeri 4 dengan Pemerintah Daerah Propinsi DIY., yang tertuang dalam Surat Perjanjian Nomor : 2/S/Tahun 1958, tanggal 20 Februari 1958. Isi perjanjian tersebut antara lain menyebutkan bahwa tanah seluas 3.500 meter persegi disewa dengan harga Rp. 1.400,- per tahun.

Atas izin Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, pada tahun 1957, POMG SMP Negeri 4 Yogyakarta memulai pembangunan 4 ruang kelas di SMP Negeri 4 Jalan Pogung dan dua ruang kelas di Basen Kotagede sebagai SMP Filialnya.

Pada tahun 1958, dimulailah Kegiatan Belajar Mengajar di “SMP Basen” di bawah bendera SMP Negeri 4 Yogyakarta.

Berkat usaha keras POMG SMP Negeri 4 Yogyakarta dan masyarakat umum, maka pada tahun 1960 berhasil membangun delapan ruang kelas baru, sehingga SMP Filial di Basen memiliki sepuluh ruang kelas. Pada saat itu, Kamil Pranowo sebagai Wakil Kepala SMP Negeri 4 yang diserahi tugas mengelola SMP Filial di Basen. Kamil Pranowo sendiri sangat gigih dalam berusaha mengembangkan sekolah tersebut, dengan dilandaskan pada motto “Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat.”

Pada tahun 1960 ditetapkan sebagai SMP Negeri 9 Yogyakarta, karena dipandang telah dapat mandiri dan telah memenuhi syarat untuk menjadi sekolah negeri.

Setelah melalui berbagai pertimbangan, maka tanggal 1 Agustus 1960 sekaligus sebagai awalnya dimulai tahun ajaran baru, secara resmi ditetapkan sebagai tanggal kelahiran SMP Negeri 9 Yogyakarta. Penetapan ini kemudian dikuatkan dengan terbitnya Surat Keputusan Nomor: 352 / Sk. / B / III Tanggal 25 Oktober 1960 dan Kamil Pranowo secara resmi diangkat menjadi Kepala SMP Negeri 9 Yogyakarta yang pertama.

B. Perkembangan SMP Negeri 9 Yogyakarta periode tahun 1960 -1980

Pada saat secara resmi melepaskan diri dari induknya SMP Negeri 4 Yogyakarta tanggal 1 Agustus 1960, SMP Negeri 9 Yogyakarta telah memiliki 10 kelas (10 rombongan belajar) dengan formasi 4,3,3, dengan 16 orang guru tetap dan 3 orang pegawai Tata Usaha. Tenaga-tenaga tersebut semuanya berasal dari SMP Negeri 4 Yogyakarta. Namun POMG SMP Negeri 9 Yogyakarta baru terbentuk pada tahun 1962, dengan Ketua pertama dipercayakan kepada R.S.S. Dewosusanto.

Sampai tahun 1970, SMP Negeri 9 Yogyakarta belum memiliki ruang Kepala Sekolah, Ruang Guru, Ruang TU, sehingga terpaksa menggunakan emperan kelas untuk ruang kantor. Kamil Pranowo selaku Kepala Sekolah selama periode 1960-1970, belum sempat membangun kantor Kepala Sekolah, guru dan TU, sampai beliau dialihtugaskan ke Kabin PMUP DIY sebagai Kapala Seksi Ujian/Materiil/Dokumentasi. Kemudian R. Bambang Suharto, Kepala Sekolah SMP Negeri Imogiri, ditunjuk sebagai pengganti Kamil Pranowo menjadi Kepala SMP Negeri 9 Yogyakarta.

Perjuangan terus berlanjut dan sekolah terus berkembang di segala aspek. Namun pada tahun 1974, Kepala Sekolah R. Bambang Suharto, B.A, dipindahkan tugasnya menjadi Kepala SMP Negeri 7 Tegalrejo Yogyakarta (filial SMP Negeri 3 Yogyakarta). Sebagai penggantinya, diangkat J.B. Sukarsono, Kepala SMP Negeri Gondowulung, menjadi Kepala SMP Negeri 9 Yogyakarta.

Melihat animo masyarakat yang tinggi untuk memasuki SMP, maka pada tahun 1977 Pemerintah membuka sekolah baru yaitu SMP Negeri 10 Yogyakarta di Nitikan Umbulharjo yang manginduk di SMP Negeri 9 Yogyakarta. Pada tahun 1978, J.B. Sukarsono, Kepala SMP Negeri 9 Yogyakarta, dipindah tugas menjadi Kepala SMP Negeri 10 Yogyakarta dan Mukiman, B.Sc (Kepala SMP Negeri Imogiri), diserahi tugas menjadi Kepala SMP Negeri 9 Yogyakarta. Pada era kepemimpinan Mukiman, B.S.c dan Ketua BP3 SMP Negeri 9 Yogyakarta R. Suwarno (waktu itu juga menjabat Lurah Desa Banguntapan) yang menggantikan dr. H. Moh Ali Wafa, dimulailah pembangunan gedung berlantai 2 yaitu ruang untuk Aula dan ruang bawah untuk ruang Guru, ruang TU, dan ruang Kepala Sekolah.

Satu hal yang patut dicatat pula bahwa pada era Kepala Sekolah Mukiman, B.Sc., terjadi peningkatan pula prestasi dalam bidang seni dan olahraga. Ketika itu sekolah membeli seperangkat alat musik gamelan yang digunakan sebagai sarana berlatih karawitan bagi siswa dan guru. Berkali-kali siswa SMP Negeri 9 Yogyakarta mengikuti lomba karawitan tingkat DIY dan menjadi juara. Demikian juga dalam bidang olah raga, khususnya Bola Volly dan Sepak Bola, dan tim SMP Negeri 9 Yogyakarta termasuk tim yang selalu diperhitungkan.

B. Perkembangan SMP Negeri 9 Yogyakarta Periode 1981-1990

Pada tahun 1980 SMP Negeri 9 Yogyakarta telah memiliki lapangan Basket meski ukuran dan kualitasnya belum memenuhi standar. Tetapi hal ini sekurang-kurangnya telah dapat menyalurkan minat para siswa terhadap olah raga Basket yang waktu itu terlihat semakin tinggi. Demikian juga di kalangan guru, kegiatan Seni Karawitan dan olah raga Bulu tangkis semakin bergairah.

Mukiman B.Sc sendiri pada tahun 1984 dipindah tugaskan menjadi Kepala SMP Negeri 4 Yogyakarta dan Kepala SMP Negeri 9 digantikan oleh Ahmad Usman yang semula sebagai Kepala SMP Negeri Condongcatur.

Pada tahun 1989 masa kepemimpinan Ahmad Usman berakhir karena yang bersangkutan memasuki masa pensiun. Tugas sebagai Kepala Sekolah kemudian digantikan oleh Drs. T. Sunarto yang sebelumnya menjabat Kepala SMP Negeri Kamijoro.

D. Perkembangan SMP Negeri 9 Yogyakarta Periode 1991-2000

Pada era kepemimpinan Drs. T. Sunarto dan Ketua BP3 Drs. H. Mukriyanto, dimulailah pembangunan gedung ruang kelas berlantai 2 di sisi timur dengan dana sistem Imbal Swadaya. BP3 membangun lantai dasar dan pemerintah melalui proyek PPM membangun ruang kelas di atasnya. Sejalan dengan program pemerintah untuk memperluas kesempatan memperoleh pendidikan di tingkat SMP, maka SMP Negeri 9 Yogyakarta pada tahun 1992 menambah jumlah rombongan belajar manjadi 5 kelas pararel sehingga pada tahun pelajaran 1994/1995 jumlah kelas menjadi 15 (lima belas).

Pada tahun 1994 Drs. T. Sunarto memasuki masa pensiun dan jabatan Kepala SMP Negeri 9 Yogyakarta digantikan oleh Drs. Sumaryono yang semula menjabat Kepala SMP Negeri 2 Panggang.

Pada era kepemimpinan Drs. Sumaryono dan Ketua BP3 Drs. H. Mukriyanto, pembangunan gedung berlantai 2 di sisi Barat dengan sistem Imbal Dana terus dilanjutkan. Bahkan pada tahun 1998 SMP Negeri 9 Yogyakarta mendapat paket pembangunan ruang AVA dan ruang keterampilan.

Sementara itu prestasi akademik SMP Negeri 9 Yogyakarta juga terus meningkat sampai peringkat empat tingkat Kota Yogyakarta. Pada tahun pelajaran 1998/1999 atas desakan orangtua murid SMP Negeri 9 Yogyakarta mengusulkan penambahan jumlah rombongan belajar menjadi 6 (enam) kelas pararel, sehingga pada tahun ajaran 2000/2001 jumlah kelas menjadi 18 rombongan.

E. Perkembangan SMP Negeri 9 Yogyakarta Periode 2001-2005

Pada tahun 2000 tepatnya pada hari ulang tahun ke-40 SMP Negeri 9 Yogyakarta para alumni angkatan terdahulu mengadakan reuni akbar di SMP Negeri 9 Yogyakarta. Salah satu hasil terpenting dari reuni tersebut adalah terbentuknya Yayasan alumni yang diberi nama Yayasan Insan Kamil dengan ketua pertama H. Siswanto B.E. Nama Insan Kamil diilhami dari nama Kepala SMP Negeri 9 Yogyakarta yang pertama yaitu Kamil Pranowo. Pengabadian ini sekaligus untuk mengenang dan mengadopsi semangat Kamil Pranowo ketika memprakarsai berdirinya SMP Negeri 9 Yogyakarta.

Yayasan Insal Kamil memang telah membuktikan baktinya. Dalam waktu yang relatif singkat yayasan alumni ini telah berkiprah dalam pengembangan fasilitas sekolah maupun dalam mempromosikan SMP Negeri 9 Yogyakarta ditengah-tengah masyarakat. Salah satu sumbangan alumni yang sangat dirasakan manfaatnya oleh SMP Negeri 9 Yogyakarta adalah bantuan seperangkat komputer untuk kantor pada tahun 2000 yang pada waktu itu baru memiliki 1 unit dan pada tahun 2002 sebanyak 20 unit komputer untuk pembelajaran siswa.

Dalam kaitan dengan akademis, prestasi SMP Negeri 9 sampai dengan tahun 2002/2003 tetap pada peringkat 3 Kota Yogyakarta dan peringkat 4 DIY., Demikian juga prestasi non akademis. Dapat mempertahankan juara umum peleton inti SMP tingkat DIY. Di samping juga juara-juara dalam bidang lain, baik tingkat kota maupun propinsi seperti lomba di bidang keagamaan, KIR, PMR, dan lain-lain. Bahkan, sejak tahun tahun 2004/2005 sekolah ini juga ditetapkan sebagai Sekolah Pendidikan Agama Islam (Pendais) Model oleh Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi DIY. Pada tahun 2003 Drs. Sumaryono dipromosikan menjadi Pengawas dilingkungan Dinas P dan P Kota Yogyakarta dan Drs. Suparno (Kepala SMP Negeri 1 Yogyakarta) diangkat menjadi Kepala SMP Negeri 9 Yogyakarta.

Pada awal kedatangan Drs. Suparno, sudah dihadapkan pada Akreditasi yang dilakukan oleh Badan Akreditasi Sekolah pada bulan Januari 2005 dan SMP Negeri 9 Yogyakarta memperoleh predikat A dengan nilai 99,10 (nilai tertinggi dari seluruh SMP di DIY). Namun di tengah keriangan atas prestasi tersebut dan sekolah sedang sibuk menghadapi PSB tahun pelajaran 2005/2006, tiba-tiba Drs Suparno dipromosikan menjadi Kepala SMP Negeri 5 Yogyakarta dan jabatan Kepala SMP Negeri 9 dipercayakan kepada Suharno, S.Pd, S.Pd.T.,M.Pd. yang sebelumnya menjabat Kepala SMP Negeri 16 Yogyakarta. Bapak Suharno, S.Pd, S.Pd.T.,M.Pd. selaku Kepala Sekolah, sedang berusaha menyusun program untuk melanjutkan program pendahulunya dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan prestasi SMP Negeri 9 Yogyakarta di berbagai bidang.

Salah satunya yang dinilai cukup penting adalah merintis kerja sama dengan UNY untuk pengembangan komputerisasi perpustakaan serta merintis pembentukan kelas bilingual. Satu hal yang telah pasti adalah bahwa sesuai SK Direktur Pendidikan Lanjutan Pertama Dirjen Dikdasmen Depdiknas No. 960/C3/Kp/2005 tertanggal 19 Juli 2005, SMP Negeri 9 Yogyakarta telah ditetapkan sebagai Sekolah Standard Nasional (SSN). Dengan demikian, sekolah ini telah diserahkan tanggung jawab yang lebih besar untuk mengantarkan anak-anak bangsa ini menjadi generasi yang mampu memasuki lingkungan yang kompetitif, adaftif dan responsif.

Tanggal 22 Juli 2006, SMP Negeri 9 Yogyakarta mewakili Propinsi DIY mengikuti lomba Perpustakaan tingkat Nasional, alhamdulillah mendapat juara harapan III .

Semoga saja program yang telah berjalan, akan dibuat dan akan dilaksanakan oleh SMP Negeri 9 Yogyakarta ini dapat berjalan lancar sehingga masa yang akan datang SMP Negeri 9 Yogyakarta benar-benar menjadi sekolah kebanggaan masyarakat Yogyakarta sebagai sekolah yang berkemasan lokal tetapi berkualitas nasional bahkan internasional. Ini menjadi tanggungjawab kita bersama sebagai keluarga besar SMP Negeri 9 Yogyakarta.