Kamis, 29 Desember 2011

Joglo Tak Termakan Jaman

Semakin berkembangnya waktu, semakin bertambah pula bentuk hunian, mulai dari minimalis sampai penganut Europian. Namun, kelemahan dari setiap style rumah dengan gaya padu-padan baru, seturut dengan waktu tetap saja lama kelamaan akan kelihatan menjadi biasa bahkan terlihat ketinggalan jaman. Ini yang membuat para peminat property wajib untuk mengikuti perkembangan dan rajin merenovasi tambal sana tambal sini. Supaya hunian bisa kelihatan tetap layak dan terlihat selalu istimewa. Bagaimanapun juga rumah adalah prestis bagi penghuninya.

Berbeda halnya dengan rumah Joglo. Kunonya Joglo membawa daya tarik tersendiri, dari nilai heritage dan kelangkaannya, membuat harga jenis rumah set-up budaya ini semakin lama semakin melambung tinggi.
Jangan pernah berpikir, bahwa rumah budaya itu murah. Untuk membuat Joglo sederhana ukuran 10x10 saja, sedikitnya kita harus merogoh kocek 150juta. Ini bukan main-main, karena memang begitulah harga satu buah rumah Joglo.

”Sudah bukan rahasia lagi kalau harga joglo sangat mahal, itu kenapa banyak terjadi bedol joglo. Selain karena mahal, joglo juga membawa kesan wibawa dan prestis untuk pemiliknya,” kata Ambar Tjahyono, Ketua Asmindo Pusat.

Ambar menambahkan, dari jamannya, rumah joglo hanya dimiliki oleh orang orang kaya saja. Jaman dahulu, kata Ambar, belum menjadi lurah, jika belum memiliki rumah Joglo. Bahkan sampai hari ini, yang namanya pejabat pejabat tinggi dari Jawa masih banyak yang berburu Joglo. ”Bahkan Megawati sekalipun rumahnya juga ada Joglonya,” kata pengusaha furniture yang juga sering di panggil Ambar Polah ini.

Joglo juga dipercaya bisa membawa hoki bagi pemiliknya. Itu kenapa, tidak bisa asal-asalan ketika seseorang hendak membuat Joglo, membedol Joglo atau bahkan merombaknya. “Bisa kena tuahnya, kalau asal asalan membongkar rumah Joglo tanpa permisi, karena dipercaya di setiap rumah Joglo pasti ada penunggunya” katanya.

Sedikit berbau mistik memang. Tapi begitulah adanya. Ambar bahkan pernah mengalami kisah mistik ini kala hendak membeli rumah Joglo di bilangan Kudus, beberepa waktu silam.

Saat itu, 15 tukang bangunannya diberi mimpi yang sama, untuk menggelar syukuran sebelum membongkar rumah Joglo yang hendak dibeli. ”Percaya nggak percaya, akhirnya kita slametan dulu sebelum membongkarnya,” jelasnya.

Bagi peminat rumah Joglo pastinya bisa membedakan, antara rumah kampung, rumah Joglo maupun Joglo Limasan dan Lima-an itu sendiri. Keempatnya hampir terlihat sama bagi orang awam. Namun kenyataannya sangat berbeda. Dari struktur dan atapnya, kita bisa membedakan antara keempat tipe rumah tersebut.

“Kalau limasan itu yang atapnya tinggi dan meruncing keatas, sedang Joglo atapnya pendek,” katanya Ambar menambahkan, rumah Joglo dengan Pendopo hampir sama bentuknya. Namun berbeda fungsi. Istilah pendopo dipakai untuk Joglo yang difungsikan untuk menerima tamu, sedangkan rumah Joglo adalah rumah utama.

Sedangkan yang membedakan rumah joglo dengan limasan, bisa dilihat dari sokohnya. Tiang yang menjadi tumpuan kekuatan dan berdiri ditengah berbentuk segi empat itulah yang menjadikan Joglo terlihat istimewanya. “Joglo sendiri adalah jawaban dari rumah tahan gempa, karena rumah Joglo itu adalah rumah yang tanpa pondasi, hanya menempel diatas tanah, kemudian diantara strukturnya tidak ada yang memakai paku, semuanya cokotan, saling menggigit. Jadi kalau ada goyangan, Joglo hanya akan goyang mengikuti goyangan tanah”jelasnya.

Sayangnya, masih banyak orang yang kurang merawat Joglo sebagai tempat tinggal. Serangan serangga, macam rayap, sempat membuat rumah Joglo kurang kokoh. Tapi itu dulu, sekarang tak banyak masalah. ”Bisa dilakukan bumigasi di tanahnya” ujarnya.

Etnik Tapi Menarik

Rumah dengan gaya Joglo tetap mampu berjuang ditengah maraknya gaya rumah dengan ragam kapsul sekalipun. Joglo tidak akan pernah terlihat biasa. Karena nilai heritage dan keunikan dari bentuknya, Joglo menjadi buruan orang berduit.

Saat ini, Jenis Joglo yang paling diminati masyarakat domestik adalah jenis Joglo kudusan. Karena seni ukirannya yang ramai dan rumit. Sedang Joglo Yogya lebih diminati konsumen mancanegara, karena simple, ukirannya hanya ditempat tempat tertentu. ”Kayu Joglo Yogya lebih kokoh,” tandas Ambar

Menurut laki laki peminat Joglo ini, setiap daerah memiliki cirikhas Joglo sendiri sendiri. Dari Joglo Jawa Timuran sampai Joglo Solo yang banyak mendapat pengaruh dari kolonial, terlihat dari corak warnanya “Kalau Joglo Kudusan merupakan pencampuran dari budaya Islam, Hindu dan Cina” katanya.

Hingga saat ini rumah beratap Joglo menjadi rumah tradisional yang masih dipertahankan. Bentuk bangunan ini biasanya menjadi atap pendopo yang berada di bagian depan sendiri. Gaya Rumah di Jogja pada umumnya terdiri dari beberapa bagian.

“Hal ini menandakan bahwa orang Jawa selalu memfilter segala sesuatu yang masuk, tidak asal menerima segala sesuatu yang masuk, “ ujar M. Natsir, Ketua Yayasan Kantil dan Kotagede Herritage District Area.

Di Yogyakarta, Joglo banyak di temui di Kotagede. Bagi masyarakat Kotagede, rumah tempat tinggal adalah suatu keseimbangan. Sehingga antara ruang satu dengan yang lain saling berkesinambungan. Bentuk rumah hingga atap juga mempunyai makna tersendiri. Untuk atap Joglo di Kotagede juga berbeda dengan di kota lain seperti Solo. Atap Joglo yang ada di Yogya memang sedikit lebih rendah dari yang ada di Solo. Hal ini ingin menunjukkan bahwa rumah di Yogya menonjolkan kesederhanaan, tidak modis, cenderung bergaya kalem.

Meski hanya berbentuk bangunan, namun kita bisa mengamati bagaimana arsitektur zaman dulu juga sangat memperhatikan beberapa hal. Selain mengolah seni konstruksi rumah, namun juga mampu merefleksikan nilai dan norma masyarakat pendukungnya.

Masyarakat Kotagede hingga saat ini masih sangat memperhatikan norma. Meski terdengar jarang di era modern ini, namun mereka sangat menghargai leluhur mereka yang sudah menurunkan tradisi, norma yang bisa bertahan hingga saat ini. Demikian juga terdapat dalam bangunan yang masih dipertahankan hingga kini tanpa merubah bentuk aslinya.

Arsitektur bangunan Joglo di Kotagede kebanyakan menggunakan kayu jati kualitas nomor satu. Ini menandakan rumah Joglo di Kotagede sudah teruji kualitasnya, yang bisa bertahan meski terguncang gempa. Namun demikian ada beberapa bangunan yang roboh dikarenakan usianya yang sudah ratusan tahun. Ataupun pasak penyangga sudah hilang di beberapa bagian sehingga tidak kuat.

Mulai Langka


Sayangnya Joglo tidak lagi marak ditemui dikota ini. Bukan karena ketidaktertarikan, tapi rumah dengan Joglo memang memerlukan lahan yang luas. Ini berarti memerlukan dana yang tidak sedikit. Selain itu perawatan untuk rumah joglo tidak semudah yang dibayangkan. Harus memaintance dengan tepat, jika tidak maka rayap akan menjadi musuh utama anda

Menurut data, rumah Joglo di Yogyakarta semakin banyak yang hancur dan diburu oleh peminat furniture. Saat ini di Kotagede yang konon sekitar tahun 1985 masih terdata sekitar 170-an, tahun 2005 tinggal sekitar 105. Dan gempa 2006 kemarin menyebabkan 25 Joglo ambruk dan sisanya rusak berat.

Ada juga yang dijual, dan dilepas sekitar harga 70juta. Kotagede merupakan warisan budaya dari kerajaan Islam Pertama abad-16. Ditempat ini, masih banyak bangunan peninggalan budaya lama. Dan perlu mendapat perhatian untuk dapat dilestarikannya.

Keberadaan joglo yang rusak ini kini juga semakin memprihatinkan. Rumah tradisional khas Jawa yang terdiri dari bagian pendapa, dalem, dan gandok ini kalau tidak rusak, ya sudah berpindah tangan alias dijual. Joglo bisa dijual dan lantas berpindah tempat, bahkan hingga ke luar negeri.

Memperbaiki Joglo yang rusak, jelas membutuhkan biaya yang tak sedikit. Selain kayu yang dipakai harus berkualitas tentu juga perlu penanganan ahli untuk mempertahankan keasliannya. Pembiayaan untuk memperbaiki Joglo, memang mahal, maka tak heran jika banyak masyarakat setempat yang menjual Joglo. Selain karena nilai jual tinggi, orang jaman sekarang cederung ingin memiliki rumah yang modern.”Tercatat, ada sebanyak 21 joglo dijual,” ujar Natsir.

Dengan kondisi seperti ini, harusnya pemerintah cepat turun tangan. Setidaknya, ada sebuah aturan untuk tak lagi menjual rumah Joglo untuk dibedol dan dipindah ke lain daerah. Masyarakat ingin ada semacam aturan agar rumah langka mereka segera dijadikan cagar budaya.

Mereka juga menginginkan agar pajak tanahnya diberi keringanan. Hal ini dikarenakan kondisi tanah mereka yang memiliki rumah pendopo Joglo biasanya mempunyai tanah besar,

“Kita itu serba bingung, kalau Joglo dijual juga pemerintah protes, tapi pemerintah tidak memberikan perhatian terhadap bangunan Joglo itu sendiri, la wong pajaknya aja mahal, sedangkan kondisi ekonomi kita memprihatinkan”, tandas Natsir ditemui di Omah Lorring pasar Kotagede.

Mereka sangat berharap pemerintah memperhatikan rumah – rumah tradisonal agar ketika wisatawan mengunjungi kotagede mereka masih bisa menikmati cagar budaya peninggalan sejarah jaman dahulu. Agar kelak, generasi mendatang tak lupa rumah nenek moyangnya. (Erita, Lisa, Fian)

Sumber: www.rumahjogja.com

Kamis, 22 Desember 2011

Selasa, 20 Desember 2011

Video Profil Kotagede



Video ini menceritakan tentang kerajinan perak dan seluk beluk Kotagede yang memiliki tingkat kebudayaan yang tinggi hasil warisan dari Kerajaan Mataram abad ke-16.
Semoga bermanfaat.

Kotagede Akan Jadi Tujuan Wisata Utama



YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Badan Promosi Pariwisata Kota Yogyakarta berencana terus mempromosikan Kotagede sehingga bisa menjadi tujuan wisata utama di Kota Yogyakarta selain Malioboro dan Keraton. "Potensi Kotagede untuk dikembangkan menjadi tujuan wisata utama cukup besar, sehingga sangat tepat bila menjadi pusat tujuan wisata utama di Yogyakarta," kata Ketua Badan Promosi Pariwisata Kota Yogyakarta (BP2KY) Dedy Pranawa Eryana di Yogyakarta, Selasa (14/6/2011).

Menurut Dedy, sejumlah potensi wisata yang cukup menarik di Kotagede di antaranya adalah kerajinan perak, kuliner, wisata ziarah seperti masjid dan juga makam raja-raja, serta kehidupan sehari-hari masyarakat yang cukup unik. "Saya pikir, potensi wisata di Kotagede tersebut dapat dijual seperti halnya di Penang, Malaysia, yaitu menjual wisata heritage dan itu laku keras," katanya.




Dedy melanjutkan, potensi Kotagede tersebut dapat laku dijual tidak hanya untuk wisatawan mancanegara, tetapi juga untuk wisatawan domestik.


Namun demikian, Dedy mengatakan, pengembangan Kotagede menjadi tujuan wisata utama di Kota Yogyakarta tersebut tidak hanya memerlukan kesiapan fisik, tetapi juga sumber daya manusia. "Tetapi, potensi wisata di daerah tersebut cukup banyak dengan wisata budaya sebagai ikonnya," lanjutnya.


Dedy menambahkan, aksesibilitas wisatawan ke Kotagede masih terbatas, sehingga memerlukan tambahan fasilitas penunjang yaitu kantong parkir. "Potensi-potensi wisata di Kotagede tersebut tidak hanya akan diminati oleh wisatawan mancanegara tetapi juga wisatawan domestik, meskipun pilihan jenis wisatanya berbeda," katanya.


Sumber: Kompas.com

Minggu, 18 Desember 2011

Kesultanan Mataram di Kotagede

Bendera Perang Kerajaan Mataram


I. Sejarah Singkat Kerajaan Mataram 

Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa yang pernah berdiri pada abad ke-17. Kerajaan ini dipimpin suatu dinasti keturunan Ki Ageng Sela dan Ki Ageng Pemanahan, yang mengklaim sebagai suatu cabang ningrat keturunan penguasa Majapahit. Asal-usulnya adalah suatu Kadipaten di bawah Kesultanan Pajang, berpusat di "Bumi Mentaok" yang diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas jasanya. Raja berdaulat pertama adalah Sutawijaya (Panembahan Senapati), putra dari Ki Ageng Pemanahan. 

Kerajaan Mataram pada masa keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura. Negeri ini pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah semakin berkuasanya firma dagang itu, namun ironisnya malah harus menerima bantuan VOC pada masa-masa akhir menjelang keruntuhannya. 

Mataram merupakan kerajaan berbasis agraris/pertanian dan relatif lemah secara maritim. Ia meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti kampung Matraman di Batavia/Jakarta, sistem persawahan di Pantura Jawa Barat, penggunaan hanacaraka dalam literatur bahasa Sunda, politik feodal di Pasundan, serta beberapa batas administrasi wilayah yang masih berlaku hingga sekarang.

Masa Awal
Sutawijaya naik tahta setelah ia merebut wilayah Pajang sepeninggal Hadiwijaya dengan gelar Panembahan Senopati. Pada saat itu wilayahnya hanya di sekitar Jawa Tengah saat ini, mewarisi wilayah Kerajaan Pajang. Pusat pemerintahan berada di Mentaok, wilayah yang terletak kira-kira di timur Kota Yogyakarta dan selatan Bandar Udara Adisucipto sekarang. Lokasi keraton (tempat kedudukan raja) pada masa awal terletak di Banguntapan, kemudian dipindah ke Kotagede. Sesudah ia meninggal (dimakamkan di Kotagede) kekuasaan diteruskan putranya Mas Jolang yang setelah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati. 

Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena beliau wafat karena kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Karena itu ia juga disebut Susuhunan Seda Krapyak atau Panembahan Seda Krapyak yang artinya Raja (yang) wafat (di) Krapyak. Setelah itu tahta beralih sebentar ke tangan putra keempat Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro menderita penyakit syaraf sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas Jolang yang bernama Mas Rangsangpada masa pemerintahan Mas Rangsang,Mataram mengalami masa keemasan.

Sultan Agung
Sesudah naik tahta Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Agung. Pada masanya Mataram berekspansi untuk mencari pengaruh di Jawa. Wilayah Mataram mencakup Pulau Jawa dan Madura (kira-kira gabungan Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur sekarang). Ia memindahkan lokasi kraton ke Karta (Jw. "kertå", maka muncul sebutan pula "Mataram Karta"). Akibat terjadi gesekan dalam penguasaan perdagangan antara Mataram dengan VOC yang berpusat di Batavia, Mataram lalu berkoalisi dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dan terlibat dalam beberapa peperangan antara Mataram melawan VOC. Setelah wafat (dimakamkan di Imogiri), ia digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat (Amangkurat I).

Kekuasaan Kasultanan Mataram oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo(1613-1645)
Terpecahnya Mataram
Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Plered (1647), tidak jauh dari Karta. Selain itu, ia tidak lagi menggunakan gelar sultan, melainkan "sunan" (dari "Susuhunan" atau "Yang Dipertuan"). Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena banyak ketidakpuasan dan pemberontakan. Pada masanya, terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Trunajaya dan memaksa Amangkurat bersekutu dengan VOC. Ia wafat di Tegalarum (1677) ketika mengungsi sehingga dijuluki Sunan Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II (Amangkurat Amral), sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang tidak puas dan pemberontakan terus terjadi. Pada masanya, kraton dipindahkan lagi ke Kartasura (1680), sekitar 5km sebelah barat Pajang karena kraton yang lama dianggap telah tercemar. 

Pengganti Amangkurat II berturut-turut adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwana I (1704-1719), Amangkurat IV (1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak menyukai Amangkurat III karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I (Puger) sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan perpecahan internal. Amangkurat III memberontak dan menjadi "king in exile" hingga tertangkap di Batavia lalu dibuang ke Ceylon. 

Kekacauan politik baru dapat diselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta tanggal 13 Februari 1755. Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti (nama diambil dari lokasi penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar, Jawa Tengah). Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah. Walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta adalah "ahli waris" dari Kesultanan Mataram.

Peristiwa Penting
  • 1558 - Ki Ageng Pemanahan dihadiahi wilayah Mataram oleh Sultan Pajang Adiwijaya atas jasanya mengalahkan Arya Penangsang. 
  • 1577 - Ki Ageng Pemanahan membangun istananya di Pasargede atau Kotagede. 
  • 1584 - Ki Ageng Pemanahan meninggal. Sultan Pajang mengangkat Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan sebagai penguasa baru di Mataram, bergelar "Ngabehi Loring Pasar" (karena rumahnya di utara pasar). 
  • 1587 - Pasukan Kesultanan Pajang yang akan menyerbu Mataram porak-poranda diterjang badai letusan Gunung Merapi. Sutawijaya dan pasukannya selamat. 
  • 1588 - Mataram menjadi kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Sultan, bergelar "Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama" artinya Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama. 
  • 1601 - Panembahan Senopati wafat dan digantikan putranya, Mas Jolang yang bergelar Panembahan Hanyakrawati dan kemudian dikenal sebagai "Panembahan Seda ing Krapyak" karena wafat saat berburu (jawa: krapyak). 
  • 1613 - Mas Jolang wafat, kemudian digantikan oleh putranya Pangeran Aryo Martoputro. Karena sering sakit, kemudian digantikan oleh kakaknya Raden Mas Rangsang. Gelar pertama yang digunakan adalah Panembahan Hanyakrakusuma atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma". Setelah Menaklukkan Madura beliau menggunakan gelar "Susuhunan Hanyakrakusuma". Terakhir setelah 1640-an beliau menggunakan gelar bergelar "Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman" 
  • 1645 - Sultan Agung wafat dan digantikan putranya Susuhunan Amangkurat I. 
  • 1645 - 1677 - Pertentangan dan perpecahan dalam keluarga kerajaan Mataram, yang dimanfaatkan oleh VOC. 
  • 1677 - Trunajaya merangsek menuju Ibukota Pleret. Susuhunan Amangkurat I mangkat. Putra Mahkota dilantik menjadi Susuhunan Amangkurat II di pengasingan. Pangeran Puger yang diserahi tanggung jawab atas ibukota Pleret mulai memerintah dengan gelar Susuhunan Ing Ngalaga. 
  • 1680 - Susuhunan Amangkurat II memindahkan ibukota ke Kartasura. 1681 - Pangeran Puger diturunkan dari tahta Plered. 
  • 1703 - Susuhunan Amangkurat III wafat. Putra mahkota diangkat menjadi Susuhunan Amangkurat III. 
  • 1704 - Dengan bantuan VOC Pangeran Puger ditahtakan sebagai Susuhunan Paku Buwono I. Awal Perang Tahta I (1704-1708). Susuhunan Amangkurat III membentuk pemerintahan pengasingan. 
  • 1708 - Susuhunan Amangkurat III ditangkap dan dibuang ke Srilanka sampai wafatnya pada 1734. 
  • 1719 - Susuhunan Paku Buwono I meninggal dan digantikan putra mahkota dengan gelar Susuhunan Amangkurat IV atau Prabu Mangkurat Jawa. Awal Perang Tahta Jawa Kedua (1719-1723). 
  • 1726 - Susuhunan Amangkurat IV meninggal dan digantikan Putra Mahkota yang bergelar Susuhunan Paku Buwono II. 
  • 1742 - Ibukota Kartasura dikuasai pemberontak. Susuhunan Paku Buwana II berada dalam pengasingan. 
  • 1743 - Dengan bantuan VOC Ibukota Kartasura berhasil direbut dari tangan pemberontak dengan keadaan luluh lantak. Sebuah perjanjian sangat berat (menggadaikan kedaulatan Mataram kepada VOC selama belum dapat melunasi hutang biaya perang) bagi Mataram dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II sebagai imbalan atas bantuan VOC. 
  • 1745 - Susuhunan Paku Buwana II membangun ibukota baru di desa Sala di tepian Bengawan Beton. 
  • 1746 - Susuhunan Paku Buwana II secara resmi menempati ibukota baru yang dinamai Surakarta. Konflik Istana menyebabkan saudara Susuhunan, P. Mangkubumi, meninggalkan istana. Meletus Perang Tahta Jawa Ketiga yang berlangsung lebih dari 10 tahun (1746-1757) dan mencabik Kerajaan Mataram menjadi dua Kerajaan besar dan satu kerajaan kecil. 
  • 1749 - 11 Desember Susuhunan Paku Buwono II menandatangani penyerahan kedaulatan Mataram kepada VOC. Namun secara de facto Mataram baru dapat ditundukkan sepenuhnya pada 1830. 12 Desember Di Yogyakarta, P. Mangkubumi diproklamirkan sebagai Susuhunan Paku Buwono oleh para pengikutnya. 15 Desember van Hohendorff mengumumkan Putra Mahkota sebagai Susuhunan Paku Buwono III. 
  • 1752 - Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi Pasisiran (daerah pantura Jawa) mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan Mangkubumi-RM Said. 
  • 1754 - Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan perdamaian. 23 September, Nota Kesepahaman Mangkubumi-Hartingh. 4 November, PB III meratifikasi nota kesepahaman. Batavia walau keberatan tidak punya pilihan lain selain meratifikasi nota yang sama. 
  • 1755 - 13 Februari Puncak perpecahan terjadi, ditandai dengan Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan atas Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah" atau lebih populer dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I. 
  • 1757 - Perpecahan kembali melanda Mataram. Perjanjian Salatiga, perjanjian yang lebih lanjut membagi wilayah Kesultanan Mataram yang sudah terpecah, ditandatangani pada 17 Maret 1757 di Kota Salatiga antara Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) dengan Sunan Paku Buwono III,VOC dan Sultan Hamengku Buwono I. Raden Mas Said diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Praja Mangkunegaran yang terlepas dari Kesunanan Surakarta dengan gelar "Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangku Nagara Senopati Ing Ayudha". 
  • 1788 - Susuhunan Paku Buwono III mangkat. 
  • 1792 - Sultan Hamengku Buwono I wafat. 
  • 1795 - KGPAA Mangku Nagara I meninggal. 
  • 1799 - Voc dibubarkan 
  • 1813 - Perpecahan kembali melanda Mataram. P. Nata Kusuma diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Kadipaten Paku Alaman yang terlepas dari Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam". 
  • 1830 - Akhir perang Diponegoro. Seluruh daerah Manca nagara Yogyakarta dan Surakarta dirampas Belanda. 27 September, Perjanjian Klaten menentukan tapal yang tetap antara Surakarta dan Yogyakarta dan membagi secara permanen Kerajaan Mataram ditandatangani oleh Sasradiningrat, Pepatih Dalem Surakarta, dan Danurejo, Pepatih Dalem Yogyakarta. Mataram secara de facto dan de yure dikuasai oleh Hindia Belanda.

II. KERAJAAN MATARAM SEKARANG 


Foto Beberapa Situs Peninggalan Kasultanan Mataram






Masjid Gedhe Mataram
(Masjid Agung Kotagede)

Langgar Dhuwur

Bokong Semar

Hasta Renggo

Watu Gilang

Rumah Produksi Cokelat Monggo

Between Two Gates

Babon Aniem

Omah Kalang, Pos Malang dan Rumah UGM

Sungai Gajah Wong
Foto = http://yacob-ivan.blogspot.com

Jumat, 16 Desember 2011

Selayang Pandang Kota Tuaku Kotagede

Kotagede atau Kutagede adalah sebuah kecamatan di Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Kotagede berbatasan dengan Kabupaten Bantul di sebelah utara, timur, dan selatan, dan kecamatan Umbulharjo di sebelah barat.
Nama 'Kotagede' diambil dari nama kawasan Kota Lama Kotagede, yang terletak di perbatasan kecamatan ini dengan kabupaten Bantul di sebelah selatan.

Peta Daerah Istimewa Kesultanan Yogyakarta dan Paku Alaman di tahun 1945 dengan nama berkas Peta_seri_DIY_AA_1945. Peta ini dan Peta_seri_DIY_AA_ lainnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari artikel Sejarah Keistimewaan dan Pemerintahan Prop. DIY. Peta Seri DIY, termasuk juga peta ini, digambar oleh Den Mazze alias Edy berdasarkan pada: Peta Propinsi DIY pada Djamal Marsudi et. al. (ed). Yogya Benteng Proklamasi, tanpa tahun, hal ix;
 
Sejarah Kotagede
 
Sebelum 1952 wilayah ini merupakan bagian dari Kasunanan Surakarta (merupakan sebuah enklave)
Semula, Kotagede adalah nama sebuah kota yang merupakan Ibukota Kerajaan Mataram Islam. Selanjutnya kerajaan itu terpecah menjadi Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.

Wilayah Kecamatan Kotagede sebagian merupakan bagian dari bekas Kota Kotagede ditambah dengan daerah sekitarnya. Sedangkan bagian lain dari bekas Kota Kotagede berada di wilayah Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul.


Kotagede Saat Ini

Kondisi seperti itu kadang-kadang menyulitkan untuk membangun Kotagede dalam konteks sebagai bekas Kota yang masyarakatnya mempunyai kesatuan sosiologis dan antropologis. Sampai sekarang masyarakat bekas Kota Kotagede dalam kegiatan sosial sehari-hari masih sangat solid dalam kesatuan itu.

Kesulitan pembangunan oleh pemerintah muncul ketika penanganan dilakukan oleh stake-holder pemerintah di tingkat Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Pemerintah Kota Yogyakarta hanya mampu menyentuh wilayah bekas Kota Kotagede yang masuk wilayah Kota Yogyakarta. Demikian juga Pemerintah Kabupaten Bantul hanya bisa meneyentuh wilayah yang masuk Kabupaten Bantul.

Soliditas masyarakat tersebut mewujudkan sebuah kesatuan wilayah yang tak terpisahkan sebagaimana dulu batas wilayah Kota Kotagede ini masih eksis. Wilayah bekas Kota Kotagede harus ditangani oleh dua unit Pemerintah yang berbeda. Dalam konteks otonomi daerah sekarang ini, ketika kewenangan tingkat Kabupaten dan Kota relatif besar, makin terasakan betapa mereka harus menghadapi 2 (dua) kebijakan yang berbeda untuk satu kesatuan wilayah tersebut. Salah satu contoh permasalahan yang segera dapat dilihat atau dirasakan masyarakat adalah bila menyangkut penanganan kawasan heritage. Pemerintah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul mempunyai perbedaan prioritas. Maka masyarakat Kotagede harus atau lebih sering berinteraksi dengan Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sebagai kota tua bekas Ibukota kerajaan, Kota Kotagede merupakan kota warisan (heritage) yang amat berpotensi bagi kemakmuran masyarakatnya. Namun hambatan pembagian wilayah pemerintahan akan terus menjadi permasalahan yang tak pernah dibahas dalam tingkat kemauan politik, kecuali masyarakatnya menghendaki.

Daerah ini dikenal dengan kerajinan peraknya yang terletak di sepanjang Jalan Kemasan hingga pertigaan ex-Bioskop Istana. Selain itu di Kotagede juga terdapat Makam Raja-Raja terdahulu Mataram antara lain makam Panembahan Senopati (pendiri Mataram). Namun kemudian makam Raja-Raja Mataram selanjutnya dipindahkan ke daerah Imogiri oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo (Raja Mataram yang menyerang Batavia).

Suasana tradisional masih sangat terasa di kota ini, misalnya terlihat di Komplek Mesjid Agung Kotagede yang terasa masih seperti di lingkungan Kraton, dimana lengkap dengan pagar batu berelief mengelilingi mesjid, pelataran yang luas dimana terdapat beberapa pohon sawo kecik, serta sebuah Bedug berukuran besar yang umurnya sudah sangat tua, setua Mesjid Agung Kotagede sendiri.

Apabila keluar dari Komplek Makam Raja-Raja kita akan disambut oleh kemeriahan Pasar Kotagede yang selalu ramai setiap hari. Namun anda akan menemukan suatu suasana lain apabila anda datang ke Pasar Kotagede di kala tanggalan Jawa menunjukkan pasaran/hari Legi. Pasar Kotagede akan bertambah ramai dan sesak baik oleh penjual maupun pembeli, bahkan area pasar bisa bertambah hingga depan Kantor Pos/TK ABA. Oleh karena itu, oleh sebagian besar penduduk Kotagede, pasar ini lebih dikenal dengan nama Pasar Legi. Kipo dan yangko adalah makanan khas Kotagede yang bisa diperoleh di Pasar Legi dan sekitarnya.

Daftar Kelurahan
Kawasan Strategis di Kotagede
  • Kebun Raya dan Kebun Binatang Gembiraloka
  • Kawasan Sentra Kerajinan Perak Jalan Kemasan
  • Pasar Legi, pasar yang setiap hari pasaran Legi menjual aneka macam unggas dan hewan lainnya.
Institusi Pendidikan di Kotagede